Keterbukaan informasi yang jujur, kata dia, harus mendapatkan dukungan semua pihak, termasuk Papua yang membutuhkan pemberitaan berimbang.
Namun, politisi Gerindra itu menilai saat ini seluruh dunia sedang menghadapi perang asimetri yang senjatanya adalah pers, sehingga Indonesia harus tetap waspada dengan kemungkinan masuknya mata-mata asing berkedok pers.
"Bahkan kamera atau alat rekam pun bisa menjadi senjata negara lain. Cara kerja seperti ini tentu saja yang tidak boleh terjadi," tukas mantan jurnalis di Gorontalo, Jumat.
Ia juga meminta pembukaan akses masuk pers asing ke Papua harus memenuhi rasa keadilan.
"Maka negara yang mengirimkan jurnalisnya ke Indonesia juga wajib mempermudah jurnlis Indonesia ke negara tersebut," tambahnya.
Pernyatan Presiden Jokowi yang mengumumkan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi jurnalis asing melakukan kegiatan jurnalistik di Papua, mendapat dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
AJI menyatakan, niat baik Presiden itu harus diikuti dengan pembuktian.
Ketua Umum AJI, Suwarjono mengatakan pembatasan peliputan terutama oleh jurnalis asing di wilayah paling Timur Indonesia ini, sudah berlangsung sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Jurnalis-jurnalis asing yang akan meliput Papua harus melalui lembaga clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, sampai Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
"Mekanisme ini menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis yang ingin melaporkan soal Papua secara bebas. Mekanisme clearing house ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas," katanya.
Pewarta: Debby Hariyanti Mano
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015