Mereka berdatangan, satu, dua hingga lima orang sekaligus, dan mengungkapkann masih ada sekitar sepuluh hingga 20 orang rekan mereka yang belum bisa meloloskan diri

Beijing (ANTARA News) - Warga Negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia di wilayah Tiongkok Daratan terus mendatangi Kedutaan Besar RI di Bejing, setelah berhasil kabur atau sengaja "diserahkan" oleh agen ilegal yang membawanya.

"Saya berhasil kabur dengan dibantu rekan sesama pembantu rumah tangga yang asli orang Tiongkok," ungkap NH, wanita asal Kampung Sempur, Pandeglang, Banten, kepada Antara di Beijing, Kamis.

NH dan RD asal Kampung Cibiutarok, Pandeglang, Banten, dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di Fuzhou di wilayah Tiongkok Tenggara, sejak tiga tahun silam.

"Kami dijanjikan setelah tiga tahun akan dipulangkan, namun setelah tiga tahun mereka ingin kami tetap bekerja sebagai PRT, tanpa besaran gaji yang dijanjikan, tanpa libur dan kesejahteraan yang memadai, semisal saat musim dingin kami dibiarkan kerja tanpa penghangat, sehingga badan dingin, tangan kaku, perih, hingga pecah-pecah dan berdarah, tetapi kami harus terus kerja," tutur RD, sambil menangis.

Keduanya tiba di Tiongkok, setelah dibeli dari seorang agen di Tiongkok sebesar 15 ribu Yuan, dari agen di Pandeglang. "Gaji kami dipotong, untuk agen, dan tidak dibayarkan selama tujuh bulan untuk mengganti uang majikan yang membelinya dari agen. Dari janji 4.000 Yuan, saya hanya terima 2.500 Yuan," ungkap NH.

Selain tidak diperkenankan berinteraksi dengan orang lain, paspor mereka pun ditahan. "Sehingga kami juga sulit untuk kabur di awal-awal kerja di sini, padahal sudah tidak tahan. Kami belum pernah kerja di luar negeri," katanya.

Kini NH dan RD ditampung di rumah tahanan Kantor Keamanan Publik Beijing setelah sebelumnya ditampung di KBRI dan dibuatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Karena keduanya berada di Tiongkok daratan secara ilegal, selama lebih dari satu bulan, maka mereka diwajibkan untuk ditahan di Kantor Keamanan Publik.

48 Orang

Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia Soegeng Rahardjo mengungkapkan pihaknya telah memulangkan 48 WNI yang menjadi korban perdagangan manusia, sejak Januari hingga April 2015.

"Mereka berdatangan, satu, dua hingga lima orang sekaligus, dan mengungkapkann masih ada sekitar sepuluh hingga 20 orang rekan mereka yang belum bisa meloloskan diri. Jadi, mungkin jumlahnya akan terus bertambah," tuturnnya.

Dubes Soegeng mengungkapkan ada WNI itu yang meloloskan diri dan langsung ke KBRI, ada juga yang diserahkan agen secara diam-diam ke KBRI jika mereka sudah tidak dibutuhkan lagi.

"KBRI senantiasa menyampaikan nota diplomatik kepada Pemerintah Tiongkok untuk mengatasi masalah ini, karena kasus ini sudah menjadi kerja sindikat yang melibatkan agen di Indonesia dan Tiongkok. Mereka bekerja sama. Beberapa agen Tiongkok sudah ada yang ditangkap aparat, namun masih banyak yang belum," ungkapnya.

Selain meminta nota diplomatik kepada Pemerintah Tiongkok, pihaknya juga meminta aparat hukum di Tanah Air untuk sigap menanggapi kasus tersebut.

"Terutama dari pihak kemigrasian untuk tidak mudah memberikan identitas berupa paspor turis kepada WNI yang akan ke Tiongkok Daratan, termasuk kepada agen yang membawanya, saat di bandara pun mereka juga harus lebih jeli jika melihat gelagat yang tidak mencirikan seorang WNI sebagai turis mancanegara, saat mereka kembali pun, harus ditanya lagi, apalagi mereka pulang sebagai korban perdagangan manusia. Jadi, aparat juga tahu modusnya. Kami akui sistem pencegahan dan perlindungan, masih lemah," kata Dubes.

KBRI, lanjut dia, telah pula menyampaikan imbauan berulang-ulang melalui laman Kementerian Luar Negeri, instansi terkait, bahkan Bareskrim Polri, agar warga Indonesia berhati-hati jika ada tawaran bekerja di luar negeri, agar mereka tidak terjebak sebagai korban perdagangan manusia.

"Khusus di Tiongkok Daratan, pemerintah setempat tidak mengijinkan adanya buruh migran negara lain untuk bekerja di wilayahnya. Jika ada yang menawarai kerja di Tiongkok, sudah pasti itu ilegal," kata Dubes.

Pewarta: Rini Utami
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015