"Ini adalah inefisiensi yang kami temukan, karena lemahnya pengendalian dari PDAM, dan pemerintah daerah," kata Juru Bicara BPK Yudi Ramdan Budiman saat berdiskusi dengan pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Yudi, kehilangan air bersih itu lebih banyak dikarenakan kendala tenis, seperti lemahnya pencatatan meter air, dan buruknya kinerja petugas PDAM dalam mengukur volume air bersih.
Selain itu, menurut Yudi, wali kota dan bupati juga tidak memberikan dukungan anggaran memadai kepada PDAM untuk penggantian meter air dan pipa PDAM.
Jika dirinci, kata Yudi, air bersih yang terbuang sia-sia sebanyak 224,08 juta meter kubik senilai Rp554,2 miliar pada 2013 dan pada semester I 2014 sebanyak 100,5 juta meter kubik senilai Rp237,07 miliar.
BPK pun meminta bupati dan wali kota untuk memberikan tambahan anggaran dan fasilitas sarana prasarana untuk mengganti meter air dan pipa distribusi.
"Seharusnya PDAM juga menyusun rencana aksi penurunan tingkat kehilangan air yang dituangkan dalam RKAP dan rencana strategi PDAM," kata dia.
Sebanyak 102 kabupaten/kota yang menjadi kajian pemeriksaan BPK soal efektivitas air bersih ini paling banyak tersebar di Sumatera (39 kabupaten/kota) dan Jawa (42 kabupaten/kota).
Sisanya terdapat di enam kabupaten/kota di Kalimantan, satu kabupaten/kota di Bali, delapan kabupaten/kota di Sulawesi, masing-masing dua kabupaten/kota di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Dari 102 PDAM di 102 Kabupaten/Kota tersebut, BPK juga meninjau kinerja keuangan dan pelayanan PDAM. BPK menemukan 18 PDAM tergolong sakit, 23 PDAM kurang sehat dan 61 PDAM sehat.
Kurang baiknya kinerja PDAM disebabkan oleh belum adanya ketentuan tarif full cost recovery dan belum diberikannya subsidi dari pemerintah kabupaten/kota.
"65 Pemda juga belum memberikan penambahan penyertaan modal yang memadai, serta adanya pemda yang masih meminta dividen padahal pelayanan belum mencapai 80 persen," kata Yudi.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015