"Buku resep makanan Bali setebal 114 halaman tersebut sudah kami luncurkan Senin kemarin di Warung Tresni Denpasar. Buku itu merupakan kolaborasi saya dengan seorang jurnalis Putu Setiawan, dan sutradara film Erick EST. Ketiganya bekerja sama sekitar tiga bulan terakhir dalam menyusun buku dokumentasi kuliner khas Bali ini," katanya di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan keinginan untuk menyusun buku ini sudah lama ada di benaknya. Tahun 2015 akhirnya diputuskan buku tersebut harus jadi.
"Penyusunan buku ini sebenarnya berlatar belakang dari kelemahan kita sendiri. Harus diakui, kita di Bali tidak cukup aware dengan sekian banyak khasanah kebudayaan kita. Kelemahan kita itu ada di dokumentasi. Kita sering membuat sesuatu tanpa dokumentasi. Jika klaim mengklaim, maka kita seringkali berada dalam posisi kalah," kata Gogonk.
Ia mengatakan sebagai penekun kuliner Bali, dirinya memang senang memasak masakan Bali. Belakangan ini banyak sekali menu yang dimasak para tetua, yakni di daerah di Mengwi dan Singaraja dimana keluarga besar pihaknya berasal, tidak dimasak lagi sekarang.
"Ini karena pengetahuan memasak menu warisan leluhur itu sudah tidak banyak yang tahu, di samping bahan yang semakin susah dicari, karena bahannya banyak ada di alam liar, di pasar tidak ada yang jual. Itulah yang menjadi latar belakang saya untuk menyusun buku resep ini," ujarnya.
Buku ini jelas Gogonk, pertama bertujuan untuk pendokumentasian seni memasak. Ia berharap suatu hari ada anak muda yang akan menggali lagi resep warisan milik para leluhur Bali ini, untuk dipopulerkan kembali.
Masakan tradisional Bali, kata Gogonk, bisa diklasifikasi menjadi tiga bagian yakni masakan harian, pesta, dan upacara. Isi buku ini hampir semuanya merupakan masakan yang sifatnya untuk harian.
"Menu masakan Bali sendiri dipengaruhi oleh budaya agraris, sehingga bahan-bahannya itu tak jauh dari sawah, sungai, dan danau. Dalam buku ini, jenis masakan saya klasifikasikan menjadi masakan sambal, sayur dan daging. Sambal bagi kita di Bali menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dulu, daging tidak begitu penting. Kalau sudah ada sambal artinya kita sudah sudah makan, meski tanpa daging," ucapnya.
Dikatakan sebagian jenis masakan di buku ini tidak lazim, bahannya juga tidak lazim dan sebagian sudah langka seperti "ancruk" (ulat sagu), capung, dan sebagainya.
"Jika kita mau menikmati masakan berbahan ancruk, setidaknya ada satu pohon sagu yang kita tebang. Kemudian ada capung, blauk, bluwang, dan sebagainya. Tujuan akhir dari penyusunan buku ini adalah untuk memenuhi obsesi saya yang sebenarnya, yakni semua wisatawan yang datang ke Bali mau mencicipi masakan tradisional Bali," katanya.
Pewarta: I Komang Suparta
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015