Jakarta (ANTARA News) - Bupati Tapanuli Tengah non-aktif Bonaran Situmeang divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.
Bonaran Situmeang dinilai terbukti memberi Rp1,8 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil pilkada kabupaten Tapteng pada 2011.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Raja Bonaran Situmeang berupa pidana penjara selama empat tahun dan denda sejumlah Rp200 juta apabila tidak dibayarkan diganti pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Mochamad Muchlis dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta Bonarann dihukum enam tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut aturan-aturan umum selama delapan tahun.
Putusan tersebut sesuai dengan dakwaan primer pasal 6 ayat 1 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi kolusi nepotisme dan perbuatan terdakwa selaku bupati yang berlatar belakang advokat tidak memberikan contoh kepada masyarakat dalam hal penegakkan hukum yang bebas, berkeadilan dan tidak memihak," ungkap anggota majelis hakim Alexander Marwata.
Sedangkan hal yang meringankan adalah Bonaran dinilai bersikap sopan, kooperatif dan memperlancar jalannya persidangan, merupakan pencari nafkah dalam keluarga dansudah berjasa memajukan kabupaten Tapanuli Tengah serta belum pernah dihukum.
Majelis hakim yang terdiri dari M Mochlis, Supriyono, Saiful, Sofialdi dan Alexander Marwata itu tidak sependapat dengan tuntutan untuk mencabut hak-hak Bonaran.
"Majelis juga tidak sependapat dengan hukuman mencabut hak dipilih dan tidak dipilih selama 8 tahun setelah mempunyai kekuatan hukum tetap, di samping karena tidak jelas dicabut hak dipilih dan dipilih dalam hal apa, majelis hakim menilai hak memilih dan dipilih adalah hak yang melekat dalam diri warga negara yang tidak bisa dicabut atau dihilangkan kecuali terdakwa melakukan tindakan makar atau kejahatan yang mengancam kedaulatan negara," ungkap hakim Alexander.
Hakim menilai bahwa Bonaran terbukti memberikan Rp1,8 miliar kepada Akil terkait pengurusan sengketa pilkada kabupaten Tapanuli Tengah yang diajukan oleh 2 pemohon yaitu Albiner Sitompul-Steven Simanungkalit dan Diana Riana Samosir-Hikmal Batubara yang meminta agar pilkada Tapteng diulang.
Akil, melalui salah satu anggota DPRD Tapteng bernama Bakhtiar Ahmad Sibarani meminta Rp3 miliar kepada Bonaran, akhirnya permintaan berkurang menjadi Rp2 miliar dan diminta untuk dikirim melalui CV Ratu Samagat milik istri Akil, Ratu Rita Akil.
Bonaran akhir meminjam uang Arif Budiman sebesar Rp1 miliar dan uang Rp1 miliar milik Aswar Pasaribu, namun pada 17 Juni 2011, hanya Rp900 juta yang ditransfer ke rekening CV Ratu Samagat oleh Bakhtiar Ahmad Sibarani dan Subur Effendi dan selanjutnya pada 20 Juni 2011 Hetbin Pasaribu mengirimkan uang sebesar Rp900 juta ke rekening CV Ratu Samagat dengan berita angkutan batu bara.
Hakim juga menilai bahwa meski putusan majelis hakim MK tidak dipengaruhi oleh pemberian uang ke Akil Mochtar, berarti dakwaan tidak terbukti.
Atas putusan tersebut baik jaksa KPK maupun Bonaran menyatakan pikir-pikir.
"Kami pikir-pikir," kata Bonaran.
"Kami juga pikir-pikir yang mulia," kata jaksa penuntut umum KPK Pulung Rinandoro.
Kedua pihak punya waktu 7 hari untuk memberikan jawaban apakah menerima atau mengajukan banding atas putusan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015