Sanur (ANTARA News) - Data historis menyebutkan 33 persen tsunami di Indonesia sejak 400 tahun lalu terjadi di kawasan perairan Sulawesi khususnya Sulawesi bagian utara dan Maluku. "Di kawasan itu terdapat busur mayu dan busur Halmahera yang rawan," kata Kasubdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Subandono Diposaptono M Eng di sela Kesiapsiagaan Menghadapi Tsunami (Tsunami Drill) yang dipusatkan di Pantai Sindhu, Sanur, Bali, Selasa. Tsunami sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik di zona pertemuan lempeng (subduksi), ujarnya, dan area Maluku timur-Papua Barat-Sulawesi Utara, merupakan tempat tumbukan tiga lempeng Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Sementara itu, Koordinator Tsunami Drill, Pariatmono mengatakan, gempa bumi yang menimbulkan tsunami adalah gempa berkekuatan di atas 6,3 SR dan terjadi di dasar laut dangkal di bawah 33km. "Jadi tak semua gempa menimbulkan tsunami. Soal potensi tsunami itu akan dianalisis dari data yang dikumpulkan oleh BMG dari seismograf, buoy, satelit, dan lain-lain," kata pejabat Kementerian Ristek itu. Tsunami sendiri akibat pemindahan air laut secara vertikal dari posisi keseimbangannya yang membuat air laut masuk ke dalam celah akibat retakan pergeseran dan kemudian kembali mencari keseimbangannya. Gelombang tsunami, ujarnya, berbeda dengan gelombang laut akibat angin, karena kecepatannya lebih dari 700 km per jam dan dapat menyeberangi samudera Pasifik hanya dalam waktu kurang dari 24 jam. Tsunami lokal, ujarnya, bisa mengirim gelombangnya hanya dalam hitungan menit saja untuk menyapu wilayah pantai. Tsunami ditandai oleh gempa, lalu air surut secara mendadak kemudian terdengar suara ledakan atau gemuruh disertai angin kuat berbau garam dari arah laut. Pada saat itu masyarakat sudah seharusnya meninggalkan pantai mencari tempat-tempat yang tinggi, tetapi bisa juga ke lantai dua bangunan yang kuat atau memanjat pohon tinggi, ujarnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006