Jakarta (ANTARA News) - Tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggunakan bahasa yang lebih tegas dan "terang" dalam sisa tiga tahun masa kepemimpinannya patut disambut baik karena kelemahan berkomunikasi Presiden selama ini antara lain terletak pada pemakaian kalimat yang normatif dan kurang memiliki kepastian waktu. Pernyataan itu disampaikan Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali, PhD, menanggapi tekad Presiden Yudhoyono yang disampaikannya di depan hadirin acara puncak HUT LKBN ANTARA di Jakarta, Selasa. Menurut Effendi Gazali, selama ini Presiden Yudhoyono dikenal sebagai sosok yang "gampang terharu dan murah senyum" namun kalimat-kalimat yang disampaikannya masih sangat normatif serta kurang elaborasi dan menekankan pada keterangan waktu sehingga rakyat belum secara jelas menangkap kapan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah merugikan negara sebesar Rp158,9 triliun, misalnya, bisa diselesaikan. "Yang bisa mempertegas adalah keterangan waktu. Kapan suatu kasus misalnya bisa selesai. Keterangan waktu akan membantu Presiden Yudhoyono terlihat lebih tegas dan lebih terang," katanya. Namun, Effendi Gazali mengatakan, ia tidak setuju jika Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa ia selama ini telah menggunakan pendekatan persuasif karena dari sudut pandang komunikasi politik, ia justru selama ini kurang persuasif. "Ukuran persuasif itu adalah mengingatkan orang tentang sesuatu yang tidak dipikirkan orang itu padahal sesuatu itu menyangkut kepentingan umum. Misalnya, berapa banyak orang yang `aware` (sadar) dengan nasib petani-petani yang ladangnya kekeringan," katanya. Dengan persuasi, Presiden Yudhoyono berhasil mengingatkan bangsa ini bahwa suatu masalah yang berdimensi kepentingan umum itu bukanlah semata-mata tanggungjawab pemerintah tetapi juga bangsa secara keseluruhan, kata Effendi Gazali. Selama dua tahun masa kepemimpinannya, pidato-pidato Presiden Yudhoyono cenderung hanya berwacana namun rakyat tidak merasa dipersuasi. Bukti dari belum berhasilnya rakyat dipersuasi misalnya tampak dari situasi dimana banyak orang tidak terenyuh menyaksikan orang lain terpaksa mengambil air dari parit yang airnya sangat kotor akibat ketiadaan suplai air bersih. Bencana banjir yang beberapa hari terakhir ini melanda sejumlah tempat di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darussalam misalnya pun belum menggugah bangsa ini untuk insaf bahwa banjir tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Mereka bertanya mengapa ini terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk bisa menghindar dari bencana yang sama di tahun-tahun mendatang. Dilihat dari pengalaman berkomunikasi politik presiden-presiden RI sebelum Yudhoyono, Effendi Gazali mengatakan, masing-masing presiden itu memiliki tantangannya sendiri. Presiden Soekarno misalnya bisa menjadi "role model" bagi upaya menumbuhkan semangat heroisme dalam melawan penjajah namun ia gagal dalam membangun demokrasi. Demikian pula dengan mantan Presiden Soeharto. "Pak Harto bisa menjadi `role model` dalam kepastian walaupun dalam beberapa hal, itu dilakukannya dengan cara yang salah. Misalnya, kalau Pak Harto mengatakan harga beras, melalui menteri penerangannya saat itu, sekian, pasti harga segitu dan stoknya tersedia. Dalam masalah keamanan pun, Pak Harto berhasil memberikan kepastian," katanya. Di era kepemimpinan Presiden Yudhoyono, pemerintahannya berhasil mempertahankan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, namun di bidang ekonomi, dia mungkin merasa berhasil dengan pendekatan neo liberalisme padahal orang lain berfikir bahwa ekonomi bangsa ini seharusnya dibangun di atas dasar-dasar ekonomi kerakyatan. "Yang ideal adalah Presiden Yudhoyono memiliki pakar-pakar atau menteri-menteri yang berasal dari kedua belah pihak (kubu neo liberalisme dan ekonomi kerakyatan, red.). Selama ini yang merasa tersingkir betul adalah mereka yang memercayai ekonomi kerakyatan," katanya. Seterusnya, tanpa menafikan segala kebaikan dan keterbukaannya, dalam berkomunikasi, Presiden Yudhoyono sudah saatnya memiliki para pemikir dan perancang pesan serta Humas yang hebat seperti yang pernah ia miliki ketika kampanye Pemilu 2004 lalu. "Ini penting untuk mencapai persuasi dan ini hanya bisa dilakukan oleh para pakar," katanya. Dalam pidatonya di acara HUT ke-69 Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang berlangsung di Auditorium Adhiyana Wisma ANTARA itu, Presiden Yudhoyono mengatakan, memasuki tahun ketiga pemerintahannya, ia akan mengubah pola kepemimpinannya dari pendekatan persuasif menjadi lebih tegas atau dengan kata lain akan lebih menggunakan bahasa "terang". "Pemerintahan yang saya pimpin telah memasuki tahun ketiga, karena itu ke depan saya akan lebih menggunakan bahasa `terang`," katanya. Kepala Negara mengatakan, masa dua tahun pemerintahannya sudah cukup untuk melakukan pendekatan persuasif dalam mengelola dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat baik antara pusat dengan daerah maupun antara pemerintah dengan non pemerintah.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006