Cilacap (ANTARA News) - Tim kuasa hukum keluarga terpidana mati kasus narkoba asal Brasil Rodrigo Gularte mencabut permohonan pengampunan yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, satu pekan sebelum pelaksanaan eksekusi.
Pencabutan permohonan pengampuan tersebut dilakukan pemohon Angelita Aparecida Muxfeldt (sepupu Rodrigo Gularte, red.) yang diwakilkan kepada tim kuasa hukum saat sidang perdana yang digelar di Ruang Sidang Wijayakusuma, PN Cilacap, Rabu.
Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal, Gede Putra Astawa, salah seorang anggota tim kuasa hukum keluarga Rodrigo Gularte, Christina Windiarti langsung menyatakan mencabut permohonan pengampunan sebelum permohonan tersebut dibacakan.
Oleh karena adanya pencabutan permohonan, hakim Gede Putra Astawa menyatakan sidang permohonan pengampunan ditutup.
Saat ditemui wartawan usai sidang, salah seorang anggota tim kuasa hukum keluarga Rodrigo Gularte, Christina Windiarti mengatakan bahwa permohonan pengampuan tersebut dicabut karena klien mereka (Rodrigro Gularte, red.) telah dieksekusi mati pada tanggal 29 April 2015.
"Kami menyampaikan kepada hakim tunggal, Bapak Gede Putra Astawa, bahwa sehubungan dengan sudah tereksekusinya klien kami, Rodrigo Gularte, maka kami mengajukan pencabutan permohonan kami dan dikabulkan karena memang tidak ada lagi yang bisa dimintakan pengampuan," katanya sambil menunjukkan berkas permohonan pengampuan yang diajukan pada tanggal 22 April 2015 dan diregistrasi dengan nomor 83/Pdt.P/2015/PN Clp.
Lebih lanjut, Chistina mengatakan bahwa tim kuasa hukum sebenarnya telah mengajukan salinan pendaftaran sidang pengampuan tersebut ke Kejaksaan Agung beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi.
Menurut dia, salinan pendaftaran sidang pengampuan tersebut sudah diterima Kejaksaan Agung dan ada bukti tanda terimanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya meminta Kejaksaan Agung menghormati proses hukum yang sedang diajukan tim kuasa hukum keluarga Rodrigo Gularte.
"Rupanya Kejaksaan Agung tidak menghormati upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh keluarga melalui tim lawyer. Begitu pula kami mengajukan permohonan ke PTUN satu hari sebelum pelaksanaan eksekusi, itupun tidak dihargai," katanya.
Menurut dia, pihaknya merasa ada diskriminasi karena untuk terpidana mati asal Prancis Serge Arezki Atlaoui yang masih berproses di PTUN dihargai oleh Kejaksaan Agung sehingga eksekusinya ditunda, sedangkan untuk Rodrigo Gularte yang sejak satu minggu sebelum pelaksanaan eksekusi sudah mengajukan permohonan pengampuan tetap dieksekusi.
Dia mengatakan bahwa keluarga Rodrigo Gularte akan tetap meneruskan kasus tersebut karena melihat adanya diskriminasi.
"Keluarga juga menitipkan pesan, kami akan terus berjuang supaya peristiwa tidak terulang pada orang-orang lain yang memang sakit jiwa tetapi tetap dieksekusi. Kami akan menunggu panggilan sidang PTUN itu, kami juga harus menunggu Angelita selaku keluarga Rodrigo Gularte," katanya.
Sebelumnya, salah seorang anggota tim kuasa hukum Rodrigo Gularte, Ricky Gunawan mengatakan bahwa pihaknya pada hari Rabu (22/4) mengajukan permohonan pengampuan ke Pengadilan Negeri Cilacap dengan meminta sepupu Rodrigo, Angelita Muxfeldt Gularte sebagai pengampu.
Menurut dia, permohonan pengampuan tersebut diajukan karena kondisi kejiwaan Rodrigo tidak cakap hukum.
"Angelita dipilih sebagai pengampu karena orang tua Rodrigo juga mengalami gangguan kejiwaan bipolar disorder, kakak laki-laki dan kakak perempuannya juga mengalami bipolar disorder. Beberapa studi menyebutkan bahwa gangguan bipolar disorder itu memang genetik," katanya di Cilacap, Senin (27/4).
Ia mengatakan bahwa pihaknya punya banyak bukti mulai tahun 1982 hingga 2015, Rodrigi Gularte mempunyai gangguan kejiwaan.
"Hari ini, kami sudah menerima surat panggilan sidang pertama pengampuan yang akan dilaksanakan pada hari Rabu, 6 Mei 2015," katanya.
Menurut dia, tujuan dari permohonan pengampuan tersebut untuk memastikan bahwa Rodrigo Gularte yang mengalami gangguan kejiwaan tidak dipenjara tetapi dirawat di rumah sakit jiwa.
Ia mengatakan bahwa permohonan tersebut sudah sejalan dengan rekomendasi Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap berdasarkan hasil pemeriksaan yang dipimpin Profesor Suwadi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
"Rekomendasi dari RSUD Cilacap adalah Rodrigo ditempatkan di rumah sakit jiwa," katanya.
Ia mengatakan bahwa Kedutaan Besar Brasil sudah menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, kata dia, tim kuasa hukum juga sudah menyampaikan permohonan agar Rodrigo ditempatkan di rumah sakit jiwa jauh hari sebelum terpidana mati itu masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua.
Akan tetapi, lanjut dia, permohonan tersebut tidak pernah ditanggapi oleh Kejagung dan Kemenkumham.
Kejaksaan Agung telah mengeksekusi delapan dari 10 terpidana mati kasus narkoba yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua pada hari Rabu (29/4), pukul 00.35 WIB, di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Cilacap.
Kedelapan terpidana mati itu terdiri atas Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), dan Okwudili Oyatanze (Nigeria).
Sementara dua terpidana mati lainnya, yakni Serge Arezki Atlaoui (Prancis) ditarik dari daftar eksekusi tahap kedua beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi karena yang bersangkutan mengajukan gugatan ke PTUN, sedangkan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) ditunda eksekusinya beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi karena keterangannya dibutuhkan kepolisian Filipina untuk mengungkap kasus perdagangan manusia.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015