"Data kami mencatat biaya pilkada yang lalu sekitar Rp5 triliun, tapi sekarang menjadi Rp6,745 triliun. Komponen terbesar adalah anggaran terkait kampanye, yang terdiri dari empat item," kata Donny setelah Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak 2015 di Gedung Balai Kartini, Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan biaya kampanye dalam Pilkada serentak tersebut meliputi debat publik terbuka antara calon kepala daerah yang dilakukan maksimal sebanyak tiga kali serta bahan kampanye (selebaran, pamflet, poster, spanduk, umbul-umbul dan alat peraga para calon kepala daerah) yang dibiayai negara.
Lalu ada biaya iklan komersial para calon kepala daerah di media massa baik elektronik, cetak maupun lembaga penyiaran lainnya yang juga ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Ongkos pembiayaan ini sangat besar, iklannya hingga beberapa kali. Ini yang menyebabkan banyak KPUD minta tambahan anggaran kepada pemerintah daerah. Padahal meskipun daerah wajib membiayai, tapi kan kemampuan fiskalnya terbatas," ujarnya.
Donny mengatakan jumlah biaya sebesar Rp6,745 triliun itu juga ada kemungkinan masih akan bertambah karena masih ada permintaan dari KPUD kepada pemerintah daerah yang ternyata membebani keuangan daerah.
Dia mengatakan pemerintah memang ingin membuat biaya pilkada lebih efisien. Namun ternyata tidak mudah melaksanakannya, sebab biaya kampanye calon yang harus ditanggung APBD telah membebani keuangan daerah.
Kendati demikian, Reydonnyzar mengatakan pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2017 dan 2018 tidak akan lagi membebani keuangan daerah karena akan dibiayai negara sesuai aturan pada pasal 200 Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 yang menyatakan ada opsi pembiayaan dari APBN.
"Nah nanti kita lihat slot mana yang bisa dibiayai APBN," ucapnya.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015