Jakarta (ANTARA News) - Memasuki tahun 2007 dan seterusnya, kita perlu merenungkan dan belajar dari sejarah, agar tidak mengulangi keburukan masa lalu dalam mengarungi hidup masa depan. Dalam renungan itu, sekalipun tidak secara eksplisit, teramati perbedaan pandangan di antara elite kita dengan berbagai pengamat yang tidak berada dalam main stream yang tergolong dalam kelas menengah dalam wacana memberi substansi cita cita pembangunan manusia kita. Ini nuansa demokrasi bukan?Wacana manusia yang menganggap diri kelompok kelas menengah sebagai kekuatan moral membela the demand side, sementara elite birokrasi itu dianggap hanya membela the supply side. Kalau sampai sampai elite bersikap tidak peka terhadap demand side, maka apakah kelas menengah mengalah atau menjadi kalah dan membiarkan ketimpangan?Di manapun di dunia, kelas menengah merupakan kekuatan moral yang tangguh dan pasti mampu menggerakkan dan memberi warna masyarakat madani (civil society). Kelas menengah tanpa bentuk formal memberi daya gerak kemanusiaan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan memberdayakan dalam wacana masyarakat madani. Anggota kelas menengah tidak melulu cari popularitas pribadi.Siapa saja yang terhitung kelas menengah? Mereka adalah insan pengusaha tingkat menengah yang bukan anak emas penguasa, dalam jajaran organisasi tergolong eselon menengah, kelompok akademisi, intelektual dan mahasiswa, serta jangan dilupakan pers yang independen dan tidak termasuk dalam struktur/sistem birokrasi pemerintahan.Independensi mereka itu senantiasa membawa angin segar dalam wacana demokrasi dengan moral force yang bukan physical force. Moral force harus terus bergema dengan dukungan pers yang menyuarakan hati nurani rakyat. Sama seperti di mancanegara, seperti Prancis, Jerman, Inggeris, Amerika Serikat dan negara Asia layaknya Jepang, Korea Selatan (Korsel), China, maupun negara Afrika dan Amerika Latin, eksistensi kelas menengah tetap merupakan "warna yang indah".Manusia kelas menengah sebelum era reformasi secara sistematik diinjak injak, dibungkam dan disudutkan ke pinggiran oleh elite politik yang bergaya paternalistik otoriter-diktator. Tetapi, meraka mau tak mau dengan elan vital kelas menengah yang memperbarui diri dalam pesertanya tetap muncul kembali setelah redanya otoriterisme.Yang pasti adalah dalam demokrasi, pemerintah dan DPR hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi dan asosiasi.Keragaman ini disebut pluralisme, serta hal ini berasumsi bahwa banyaknya kelompok dan lembaga dalam suatu masyarakat demokratis tidak bergantung pada pemerintah bagi kehidupan, legitimasi, atau kekuasaan mereka.Peranan kelas menengah sebagai penjaga demokrasi dan nilai nilai moral (custodian of democracy and moral force), dengan kesadaran hati nurani masing-masing yang merasa bagian kelas menengah makin mencuat. Artinya, "esa hilang, dua terbilang", "mati satu, tumbuh seribu" tetap eksis sebagai kekuatan moral.Seringkali muncul gugatan dengan mencibir skeptis di beberapa kalangan intelektual: "benarkah kelas menengah kita sebagai manusia independen tanpa ikatan formal terstruktur, dan apa masih memiliki daya "kritis yang langgeng?"Kelas menengah yang tersebar di seluruh Nusantara tidak melulu bergerak, karena keinginan publisitas dengan segala "sloganisme", tetapi karena panggilan sejarah. Peranan kelas menengah dengan dukungan isntrumen demokrasi lainnya, yaitu pers yang bebas dan profesional, bukan karena beberapa nama saja. Kelas menengah itu ibaratnya pahlawan tanpa publisitas, dan memang terhitung menjadi penggeraknya demokrasi.Jangan sampai kelas menengah terbuai oleh ekspektasi instan yang membuat mereka menjadi arogan, dan mudah kecewa hingga menjadi "masa bodoh", ketika ekspektasi peranannya tidak mudah tercapai. Patutlah diketahui bahwa di negara manapun, termasuk Indonesia, bangkitnya kelas menengah melawan ditaktor dan kesewenangan sekaligus membantah pengamat yang mempertanyakan kekuatan kelas menengah kita. Bangkitnya kelas menengah itu lantaran perasaan terinjaknya hak dan kewajiban dalam demokrasi yang bernilai universal. Bangkitnya kelas menengah kita bukan lantaran beberapa orang yang dituduh menjiplak elan vital kelas menengah negara Eropa, Amerika Serikat atau Jepang.Dalam rezim otoriter, boleh dikata semua organisasi dikendalikan, didaftar, diawasi dan bertanggungjawab kepada pemerintah. Pers yang dikategorikan bebas pun diperlakukan secara kerdil dan pembodohan terus berlangsung selama elit demikian berkuasa secara otoriter dan diktator. Segala macam Undang-Undang (UU) atau peraturan dirumuskan sedemikian rupa hingga demokrasi dalam politik, ekonomi dan sosial tidak berfungsi, karena senantiasa ada belenggu.Syukur kita semua sadar sejak era reformasi, maka tidak hidup dalam belenggu otoriter. Syukur kalau sejak era reformasi, maka elite kita terus tumbuh dengan kesadaran mau menghargai wacana kelas menengah.Manusia yang memiliki kesadaran diri dan kritis perlu setiap kali menyerap ungkapan Amartya Sen, sang pemenang Hadiah Nobel 1998), dalam Democracy as a Universal value (February 1999), yang mewanti-wanti "...The value of democracy includes its intrinsic importance in human life, its instrumental role in generating political incentives, and its constructive function in the formation of values and in the understanding of the force and the feasibility of claims of needs, rights and duties. (Nilai demokrasi mencakup kepentingan intrinsik dalam kehidupan manusia, peranan instrumentalnya dalam mencuatkan insentif politik, dan fungsi konstruktif dalam pembentukan nilai nilai serta dalam pemahaman akan kekuatan dan kelayakan tuntutan kebutuhan, hak dan kewajiban). Demokrasi merupakan sarana mewujudkan mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu, kelas menengah merupakan suatu kelompok independen, bergerak maju, tidak terbatas oleh satu generasi saja, dan pasti ada kesinambungan, karena sebagai pejuang demokrasi dan melalui pendidikan nilai (education of values).Prosesnya seperti mendaki gunung, tapi harus dilalui dengan penuh tekad dan elan vital, meskipun masyarakat biasa, karena sikap "tahu tapi tidak mau berucap" (know more than willing to express), dan ada yang kadang-kadang tutup mulut diri dalam menantikan arah perubahan yang konkret dan kredibel lebih bermutu untuk jangka pendeknya, serta selanjutnya jangka menengah ke masa depan. (*)

Oleh Oleh Bob Widyahartono *
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006