Jakarta (ANTARA News) - Meskipun tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan, DPD ingin memiliki peran lebih besar dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR, meliputi pembahasan hingga tahap pengambilan keputusan. Demikian catatan akhir tahun DPD yang disampaikan Ikhwan Mansyur Situmeang dari Bagian Hubungan Antarlembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD di Jakarta, Minggu. Dia menjelaskan DPD telah mengalami sejumlah kesulitan selama penyelenggaraan pembahasan RUU dan penerbitan UU bidang tertentu yang melibatkan DPD. Hak itu pernah disampaikan PAH I DPD pada saat menyerahkan Pandangan dan Pendapat DPD terhadap RUU pembentukan daerah sehubungan dengan Pembahasan RUU Pemekaran Daerah di Ruang Rapat Komisi II DPR, akhir Nopember 2006. Mendagri menyampaikan pandangan dan pendapat pemerintah terhadap 12 RUU tentang Pembentukan Kabupaten/Kota. Akhirnya, DPR dan Pemerintah menyepakati akan membahas 17 RUU pembentukan kabupaten/kota baru. Ketua PAH I DPD, Sudharto, menyatakan pihaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menjalankan amanah konstitusi sesuai ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 untuk ikut membahas RUU pembentukan daerah. Namun, Peraturan Tata Tertib DPR dan UU 22/2003 mereduksi amanat tersebut dengan membatasi peran DPD hanya sekadar menyampaikan pandangan dan pendapat pada tahap awal pembicaraan tingkat satu. DPD menolak pembatasan peran konstitusi DPD dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Meskipun DPD tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan, namun DPD ingin berperan lebih besar. Dengan keterlibatan DPD sepenuhnya dalam pembahasan 17 RUU pembentukan kabupaten/kota, DPD lebih berpeluang menunjukkan kinerjanya sebagaimana yang dituntut publik. "Ini bukan merupakan tuntutan kewenangan baru bagi DPD melainkan pelaksanaan lebih proporsional amanat konstitusi yang dibebankan kepada DPD untuk ikut membahas RUU pembentukan daerah sesuai ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," katanya. DPD juga meminta kejelasan pengaturan dalam Peraturan Tata Tertib DPR perihal mekanisme menindaklanjuti segenap masukan dari DPD. Terkait RUU Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai usul inisiatif DPD yang telah disampaikan kepada DPR tahun lalu, DPD tidak pernah memperoleh penjelasan prosedural dari DPR. "Tiba-tiba saat ini DPR mengagendakan pembahasan RUU Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai usul inisiatif DPR. Tidaklah patut bagi DPR bertindak seperti `kompetitor` DPD," kata Sudharto. Penerbitan UU yang melibatkan DPD selama pembahasannya "seperti RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang 10/2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias serta UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh" tidak dicantumkan pada konsiderans diktum "mengingat" Pasal 22D UUD 1945. "Semoga kealpaan menuliskan Pasal 22D UUD 1945 ini semata-mata kekhilafan, bukan kesengajaan untuk tidak mengakui peran konstitusional DPD," katanya. Sudharto mengatakan, berdasarkan pengalaman DPD dengan DPR untuk membahas RUU pemekaran, PAH I DPD memahami bahwa `ikut membahas` sebagaimana ketentuan Pasal 22D UUD 1945 bersifat imperatif, bukan fakultatif. Karena itu, apabila UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) dijadikan dasar dalam Peraturan Tata Tertib DPR maka pandangan dan pendapat DPD tidak boleh hanya direduksi pada tahap awal pembicaraan. "Sungguh, PAH I DPD tidak bisa menerimanya." Karena itu, PAH I DPD mendesak DPD mengajukan judicial review terhadap UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mekanisme kerja antara DPD dan DPR yang memungkinkan DPD bekerja dengan baik sampai saat ini belum terwujud sehingga pemberitahuan dan pengiriman dokumen selalu mendadak. Wakil Ketua PAH I DPD Marhany V Pua mengatakan, pada tahun sidang mendatang, PAH I DPD berharap agar persoalan mekanisme kerja antara DPD dan DPR sebagai lembaga yang sama-sama melaksanakan tugas konstitusional terselesaikan secara baik. Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasmita, hubungan antara DPD dan DPR harus dibahas kembali dalam Tim 25 agar pekerjaan DPD yang telah telah dihasilkan selama ini tidak sia-sia. Anggota DPD dari daerah pemilihan Sumatera Selatan Kafrawi Rahim menyatakan, PAH I DPD sebaiknya diberikan kewenangan mengajukan judicial review. "Kalau membuat UU Susduk tersendiri lebih lucu lagi," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006