Matanya nampak masih sembab. Rambut gondrongnya tak terurus dan terurai berantakan. Kulit hitam yang tersorot lampu listrik di pintu Rumah Sakit Daerah Cibinong, Jawa Barat, itu memperjelas wajah lelah lelaki setengah baya itu.
Keberuntungan masih berpihak padanya. Setelah antri sejak satu malam sebelumnya, pada Rabu (4/3) akhirnya mendapat antrean pertama pendaftar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
Saat antre, beredar kabar, meski antre sejak malam, bisa saja dapat nomor besar karena urutan awal sudah diperoleh para calo. Tentu saja antrean untuk mendapatkan nomor urut wahid itu harus dilalui dengan perjuangan berat dan penuh kesabaran.
Lelaki setengah baya itu, rela bermalam di teras rumah RSUD Cibinong bersusah payah mendapatkan nomor antrean untuk orang tuanya yang sudah lanjut usia atau lansia.
Jika saja orang miskin diizinkan Tuhan tidak sakit, maka tentu tak ada orang antre nomor berobat seperti di rumah sakit itu. Sudah miskin, harus menderita lagi mendapatkan nomor antrean.
"Orang miskin hanya punya modal kesabaran. Ya. Kalau tak sabar, banyak orang miskin akan nekad menjadi kriminal," kata seorang pengantri lainnya.
Orang miskin jauh lebih jujur ketimbang orang kaya. Namun masih banyak dana orang miskin disunat. Tidak mustahil pula uang rakyat, menurut istilah Ahok Basuki Tjahaja Punama, Gubernur DKI Jakarta , dimainkan menjadi anggaran siluman dalam APBD.
"Ah, sudahlah. Nggak ada habisnya mikirin korupsi. Lembaganya saja, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan orang-orangnya makin ramai saja dibahas di media massa. Tentang koruptornya, jelas, tertawa dan bersuka ria dengan hasilnya," sahut pengantre lainnya menimpali pembicara pengantri rekan di sebelahnya.
Satu jam sebelum azan subuh, aktivitas antrean sudah terlihat di pintu. Cara antreannya pun terlihat cukup unik. Para pengantre berinisiatif sejak pukul 04.00 WIB sudah meletakan helm di lantai sebagai tanda pemiliknya mengantre, kemudian disusul pengantre berikutnya.
Benda atau barang yang diletakan di lantai sebagai antrean bisa macam-macam, helm, topi, map, botol minuman, dan tas. Saat pintu gerbang rumah sakit hendak dibuka satpam, para pengantri berinisiatif berbaris teratur sesuai dengan benda yang diletakan pemiliknya masing-masing.
Antrean nomor berobat pada pagi itu sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Suasana sedikit hangat. Pengantre pun seolah mendapat tambahan hiburan di pagi hari yang cerah itu.
Seorang wanita berambut panjang mengenakan pakaian dinas rumah sakit tersebut tampil agak beda pula. Tanpa ikut antre, sekonyong-konyong sudah berada di barisan terdepan menjelang pintu gerbang dibuka. Persis tak jauh dari lelaki setengah baya yang menanti pintu dibuka sejak malam untuk mendapatkan nomor berobat.
Sesama pengantre bisik-bisik tentang perilaku perempuan itu. Merasa diperhatikan pasien lain, lantas perempuan tadi berceloteh sendiri bahwa dirinya adalah karyawan setempat.
Tepat pukul 06.15, Achmad - pegawai RSUD Cibinong, Jawa Barat - dengan dibantu seorang pegawai honorer membuka pintu masuk dan membagikan nomor antrean secara bergiliran.
Dengan mengenakan layaknya pegawai Pemda, Achmad yang berpenampilan necis itu juga membantu memberi penjelasan kepada para pendaftar tentang prosedur layanan di rumah sakit setempat.
Saat antrean berikutnya hendak dibuka untuk mendapatkan fasilitas BPJS di tiap loket layanan, seorang petugas memberikan penjelasan kepada para pengunjung.
Petugas berusia 30 tahunan itu mengingatkan agar setiap pasien melengkapi dokumen, seperti foto kopi kartu BPJS, kartu tanda penduduk atau KTP, surat rujukan dari Puskesmas.
"Mengantre harus sabar. Yang antre di sini bukan dari Cibinong saja, juga berasal dari Sukabumi dan daerah Jawa Barat lainnya," kata si pemuda itu dengan menggunakan pengeras suara.
"Untuk lansia, antrian di layani terpisah," ujarnya menambahkan.
Kalau antrean subuh hingga pagi untuk pelayanan BPJS kebanyakan terdiri dari wajah-wajah pasrah dan kumal, maka menjelang siang wajah pengunjung rumah sakit sedikit berbeda diramaikan orang dengan penampilan apik, rapi dan bersih dan kebanyakan sudah diwakili untuk mengantre berobat sejak pagi hari.
"Yakinlah, mustahil orang macam begini mau antri bersusah payah," kata seorang petugas RS setempat.Ketika hal tersebut ditanyakan kepada orang lain yang setiap saat berobat antre sejak pagi, ternyata jawabannya pun sama.
"Ya nggak lah. Dia tak bakal mau antre. Pasti orang lain yang antre. Banyak uang, tinggal perintahkan pembantu. Beda dengan lansia miskin," kata seorang pemuda yang tengah menderita sakit mata.
Suara tawa, pengumuman nomor antrian hingga di atas lima ratusan dan suara anak kecil berteriak yang dibawa para orang tua ikut menambah warna suasana rumah sakit makin ramai.
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015