Kairo (ANTARA News) - Masa kejayaan hubungan diplomatik Mesir-Indonesia berawal ketika pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser pertama kali berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.

Nasser ketika itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri merangkap pelaksana tugas kepala negara setelah mendongkel Presiden pertama Mesir, Mohamed Naguib pada 1954.

Jumlah delegasi pimpinan Nasser itu tidak tanggung-tanggung, sebanyak 50 orang, mencakup antara lain Menlu Mahmoud Fauzi, Menteri Wakaf (semacam menteri agama di Indonesia) Syeikh Ahmed Hassan Bakouri, Menteri Penyuluhan Nasional Shalah Salem, Menteri Perindustrian Mohamed Abu Nasr.

Sebelum lawatan Nasser ke Indonesia, warga Mesir praktis belum mengenal Indonesia, kendati Negeri Piramida itu tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dua tahun pascaproklamasi, di awali pengakuan de facto pada 1946.

Nama Indonesia sendiri saat itu masih asing di telinga warga Mesir, dan di kalangan mereka hanya mengenal "Jawi"(Jawa), terkait dengan pelajar-pelajar dari Asia Tenggara yang belajar di Universitas Al Azhar.

Bahkan Sekjen Liga Arab Abdel Rahman Azzam Pasha, orang Mesir yang sangat berjasa memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia, mengaku belum pernah mengetahui ada negara bernama Indoensia, ketika para pelajar Indonesia menemuinya untuk upaya pengakuan proklamasi.

"Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekjen Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia, pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas," kata Azzam, seperti direkam Jamil Arif dalam bukunya "Syahid ala Maulid Al Jamiah Al Arabiah".

Dikisahkah, ketika ditemui pelajar-pelajar Indoensia, Azzam sempat memegang peta dunia untuk mencari di mana letak Indonesia, namun tidak menemukannya, dan hanya tercatat "Juzur Al Hindi Al Hulandia Al Sharqiah" (Kepulauan Hindia Belanda).

Kendati demikian, Sekjen Azzam lambat laun mulai tertarik menyuarakan masalah pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam sidang-sidang pada pertemuan Menlu Liga Arab, setelah menampung aspirasi dari para pelajar Indonesia.

Singkat cerita, Mesir akhirnya tercatat sebagai negara pertama mengakui kemerdekaan Indonesia setelah Liga Arab mengirim utusan khususnya, Mohamed Abdel Moneim, Konjen Mesir di India, untuk menemui Presiden Soekarno di Jogjakarta pada Maret 1947.

Abdel Moneim secara dramatis menerobos blokade udara, yang diberlakukan Kolonial Belanda, lewat pesawat carteran dari Singapura.


Nasib Suez

Kehadiran Gamal Abdel Nasser dalam KAA 1955 yang melahirkan Dasasila Bandung, seolah memberi amunisi baru bagi Mesir dalam perjuangan merebut kembali hak-haknya yang dirampas kolonial asing.

Salah satu dari sepuluh butir Dasasila Bandung berbunyi "Menghormati Kedaulatan dan Teritorial Semua Bangsa", tampaknya mengilhami Nasser untuk melakukan nasionalisasi Terusan Suez, sekitar setahun setelah KAA Bandung.

Terusan yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania tersebut ketika itu dikuasai Inggris dan Prancis.

Keputusan nasionalisasi terusan -- salah satu jalur pelayaran paling sibuk di dunia itu -- diambil hanya enam bulan setelah Nasir dilantik sebagai presiden pada Januari 1956.

Nasionalisasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 285 tahun 1956 itu disampaikan Presiden Nasser dalam satu pidato spektakuler di kota wisata Alexandria, 240 kilometer utara Kairo, Juli 1956.

Akibat nasionalisasi itu, pertempuran hebat tak terelakkan antara Mesir melawan tiga negara, yang disebut "Tripartite Aggression", mencakup Inggris, Prancis dan Israel.

Agresi militer itu berkobar setahun setelah lawatan pertama Presiden Soekarno ke Negeri Ratu Cleopatra tersebut pada Juli 1955.

Menanggapi nasionalisasi Terusan Suez, Presiden Soekarno dan rakyat Indonesia mendukung penuh sikap Presiden Nasser.

Menurut buku "Potret Hubungan Indonesia-Mesir: Jauh di Mata Dekat di Hati" (KBRI Kairo), dukungan Indonesia tersebut di sampaikan Presiden Soekarno dalam pidato HUT ke-11 Proklamasi Kemerdekaan di Istana Merdeka, 17 Agustus 1956.

Serikat buruh seluruh Indonesia, khususnya yang bekerja di perusahaan-perusahaan Inggris dan Prancis di Tanah Air, menyatakan mogok massal sebagai protes atas agresi Tripartite dan dukungan atas nasionalisasi Terusan Suez.

DPR-RI dalam sidang paripurna pada 11 Agustus 1956 secara bulat mendukung keputusan Mesir untuk nasionalisasi Terusan Suez.

Dalam surat kawat dukungan kepada Presiden Nasser, Bung Karno menuturkan, "Saya sedih mendengar berita penyerangan Inggris, Prancis dan Israel atas Mesir. Saya sampaikan kepada Anda dan rakyat Mesir yang sedang berjuang dengan penuh keberanian di bawah komando Anda, bahwa penyerangan kaum penjajah itu sangat menyentuh kalbu saya."

"Saya yakin keadilan dan kebenaran pada akhirnya akan mengalahkan kekuatan jahat dan penjajahan. Indonesia dan negara-negara sahabat di Asia dan Afrika akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertahankan kedaulatan Mesir".

Presiden Soekarno menegaskan, bantuan atau simpati yang diberikan Indonesia kepada perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain bukan didasarkan perhitungan untung-rugi, melainkan karena prinsip, yaitu prinsip anti-kolonial, prinsip hak merdeka, prinsip kemandirian, dan prinsip persahabatan sesama warga dunia.

Dukungan nyata Indonesia juga diwujudkan dengan pengiriman pasukan Kontingan Garuda, beranggotakan 559 personel untuk misi penjaga perdamaian segera setelah berakhirnya pertempuran Suez, yang dimenangkan Mesir.

Presiden Soekarno memimpin upacara pelepasan Kontingen Garuda di Istana Negara pada Desember 1956 untuk bergabung dengan pasukan penjaga darurat PBB (United Nations Emergency Force/UNEF).

Alhasil, hingga kini warga masih mengenang romantisme hubungan kedua negara di bawah kepemimpinan Nasser dan Bung Karno, yang diawali dari KAA Bandung 1955.

Oleh Munawar S Makyanie
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015