Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar, mengatakan berbagai masalah lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia adalah masalah keputusan politik, yang hingga kini belum mengutamakan isu kelestarian alam.
"Seharusnya memang masalah-masalah lingkungan hidup menjadi agenda semua pihak, tapi sayangnya hal itu belum terjadi di Indonesia," kata Rachmat dalam forum "Refleksi Akhir Tahun Lingkungan Hidup dan Orientasi Politik Indonesia", di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut ia mengatakan masalah-masalah lingkungan hidup Indonesia juga terletak di pilihan apakah mau sejahtera sekarang atau kelak.
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumber daya alam, menurut Rachmat, memunculkan dua jenis kelompok besar yaitu mereka yang menyetujui eksploitasi dan mereka yang mengutamakan konsultasi.
Kerusakan yang khusus ditimbulkan oleh tindakan manusia cenderung mengutamakan pencapaian kesejahteraan sekarang juga, tanpa mengimbanginya dengan upaya pelestarian alam.
Rachmat mengatakan strategi yang kini KLH coba terapkan untuk menyikapi penurunan kualitas alam Indonesia adalah dengan melibatkan
sebanyak-banyaknya pihak untuk ikut mengatasi masalah lingkungan hidup.
"KLH ingin menggugah kepedulian berbagai kalangan, seperti partai politik dan tokoh masyarakat. Bila kepedulian sudah dapat digalang, adalah kewajiban negara untuk memimpin program-program yang berpihak ke pelestarian lingkungan hidup," kata dia.
Ia menambahkan, KLH sangat optimis strategi itu akan berhasil karena kini kepedulian mulai meningkat dan dunia internasional pun memberikan perhatian berupa asistensi dan pengawasan kepada Indonesia.
Sementara itu Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mencermati buruknya pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Air terletak di sistem politik yang "amburadul".
"Saya menilai hal yang paling penting untuk segera diperbaiki adalah sistem politik, karena seorang presiden hanya akan kuat kebijakannya bila didukung oleh partai politik yang kuat," kata Arbi.
Ia secara khusus menanggapi lemahnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, terutama di kebijakan yang terkait isu lingkungan hidup, muncul dari ketidakberanian presiden menentukan keputusan yang tegas dan kuat.
"Walaupun menang dengan suara lebih dari 60 persen dalam Pemilu 2004, tapi Presiden SBY tidak mampu bersikap tegas, bahkan tidak berani memecat menterinya sendiri," katanya.
Senada dengan itu Sutradara Ginting, anggota DPR-RI, mengatakan bahwa kebijakan politik dan lingkungan hidup mempunyai hubungan yang khas secara timbal-balik.
"Saya meyakini paradigma tentang kemampuan negara harus menyelesaikan semua masalah lingkungan hidup haruslah diubah, karena cara pandang seperti sangat ketinggalan jaman," kata Ginting.
Ia menyebutkan, KLH seharusnya tidak melulu dijadikan "tersangka", dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, di setiap persoalan lingkungan hidup.
"Isu lingkungan hidup harusnya jadi tanggung jawab semua pihak, kepentingan semua pihak," katanya.
Namun dalam kenyataannya, dalam anggaran belanja negara sektor lingkungan hidup mendapat alokasi yang sangat kecil. Untuk program re-forestasi "cuma" alokasikan 0,4 persen APBN.
"Jadi jangan berharap banyak dari upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup atau pengentasan kemiskinan kalau pendanaannya masih jauh di bawah pos belanja aparatur/birokrasi," kata Ginting.
Menurut dia, APBN terbagi ke belanja publik - termasuk di sini pembiayaan program pelestarian lingkungan hidup - 33 persen dan belanja aparatur/birokrasi 67 persen.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006