Secara sosial akan sulit dilakukan pengawasan dan pengendalian, termasuk soal jaminan keselamatan dalam bertransaksi baik bagi pekerja seks komersial maupun pelanggan,"

Jakarta (ANTARA News) - Praktik prostitusi gaya baru yang transaksi perjanjian layanannya menggunakan jejaring online dinilai lebih berisiko dibandingkan prostitusi yang sudah terlokalisasikan.

Hal itu dikemukakan Sosiolog Universitas Negeri Malang (UM) Abdul Kodir mengomentari maraknya praktik prostitusi online, termasuk menggunakan sarana jejaring media sosial.

"Secara sosial akan sulit dilakukan pengawasan dan pengendalian, termasuk soal jaminan keselamatan dalam bertransaksi baik bagi pekerja seks komersial maupun pelanggan," katanya saat dihubungi Antara News dari Jakarta, Jumat.

‎Misalnya, risiko yang menimpa salah satu praktisi PSK online, Deudeuh Alfisarin, yang ditemukan tidak bernyawa di kamar pondokannya di Jalan Tebet Utara 15-C No. 28 RT007/RW010 Tebet Timur Jakarta Selatan pada Sabtu (11/4) yang diduga dibunuh oleh pengguna jasanya, tersangka MPS (24).‎

Menurut Kodir, dengan tidak adanya pendataan yang biasanya bisa ditemui dalam lokalisasi kawasan PSK, tidak ada jaminan keamanan dalam transaksi.

Kodir menyebutkan prostitusi online juga menjadi salah satu pelarian dari dampak penutupan lokalisasi di Gang Dolly, Jarak, Surabaya.‎

"Faktanya setelah penutupan Dolly banyak klub malam, mal, dan hotel yang dijamuri oleh praktik prostitusi terselubung berkedok tempat pijat, dan juga ada yang menjadi dalam bentuk online," katanya.

Peralihan modus prostitusi tersebut, lanjur Kodir, tidak lepas dari efek terusan penutupan lokalisasi.

"Karena tidak mungkin untuk mengubah seorang PSK untuk secara langsung meninggalkan profesinya, apalagi dengan cara-cara paksaan," kata Kodir.‎‎Lebih jauh lagi, dengan hilangnya lokalisasi dan peralihan modus prostitusi akan memberikan dampak lanjutan semisal soal pendataan dan pengawasan penyakit menular seksual.

"Kalau ada lokalisasi pemerintah melakukan pengawasan termasuk pemeriksaan kesehatan rutin setiap pekan.

"Sekarang ibaratnya mereka tidak mempunyai rumah tetap, bagaimana pemerintah bisa mengendalikan," pungkasnya.‎

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015