Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengusulkan agar dunia industri lebih banyak menerapkan "take-back mechanism" atau menampung barang-barang purna-guna buatannya, sebagai salah satu upaya pengendalian limbah elektronik ("e-waste") di Tanah Air. "Memang `take-back mechanism` belum populer di Indonesia, tapi bila dunia usaha melakukannya maka sebagian masalah limbah elektronik bisa berkurang," kata Agus Pramono, staf khusus Menteri Lingkungan Hidup bidang Permasalahan Lingkungan Global dan Kemitraan KLH, di Jakarta, Rabu (20/12). Selain itu, KLH juga mendorong dunia usaha untuk lebih aktif mengembangkan produk dengan disain yang ramah lingkungan sehingga mempermudah proses daur-ulang. "Juga agar mereka menerapkan upaya-upaya lain yang mendorong pengelolaan limbah elektronik secara lebih ramah lingkungan, misalnya EPR (Extended Producer Responsibility)," ujarnya. Limbah barang-barang elektronik di Indonesia, lanjut Agus, akan terus bertambah seiring dengan laju konsumsi domestik dan impor barang elektronik bekas seperti televisi, komputer, dan telepon seluler. "Pola konsumen di Indonesia memang berpotensi membuang banyak limbah elektronik, karena orientasinya harga yang murah walaupun kualitas rendah dan masa pakainya singkat," kata dia. Agus juga mencermati selama 10 tahun terakhir jumlah barang elektronik, seperti pesawat televisi, telepon seluler, kulkas, dan pendingin ruangan, mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini mengakibatkan limbah elektronik pun ikut meningkat. "Teknologi barang-barang elektronik saat ini bukannya membuat barang awet pakai, tapi malah mendorong konsumen sering mengganti barang elektronik miliknya dengan keluaran yang terbaru," kata Agus menjelaskan. Ia menilai lamanya pemakaian barang elektronik kini tidak lagi menjadi tujuan, konsumen sekarang justru berorientasi teknologi terbaru, salah satu contohnya adalah telepon seluler dan televisi yang rata-rata dipakai tak lebih dari 5 tahun.(*)

Copyright © ANTARA 2006