Jakarta (ANTARA News) - Gambar seseorang tentang masa kecilnya bisa menceritakan peristiwa penting dalam hidupnya menurut psikolog Prancis Roseline Davido.
"Gambar adalah ingatan masa kecil," kata psikolog dan psikiater yang mengajar di Universite Paris-VII itu kepada Antara News di Jakarta, Selasa (14/4).
Gambar bisa mengungkap hal-hal yang tidak pernah diceritakan seseorang kepada orang lain, terutama bila orang itu pernah mengalami trauma karena kejadian-kejadian seperti seperti kekerasan fisik atau seksual.
Davido menuturkan satu contoh kasus seorang perempuan berusia 90 tahun yang diminta membuat gambar tentang masa kecilnya.
Ia membuat gambar boneka yang cantik. Boneka miliknya saat berusia 13 tahun. Ibunya memaksa dia memberikan boneka itu kepada orang lain di rumah sakit.
Kejadian itu sangat membekas pada dirinya, membuat dia memutuskan untuk tidak menikah dan punya anak karena tidak ingin merenggut sesuatu yang berharga dari seorang anak.
"Gambar kurang lebih menunjukkan seperti apa diri kita," kata penulis buku "Mengenal Anak Melalui Gambar" itu.
Masa Lalu
Roseline Davido adalah penemu tes proyeksi Childood Hand that Disturbs (CHaD) untuk mengetahui masa lalu seseorang.
Dalam tes yang dapat diberikan kepada semua umur itu, seseorang diminta membuat gambar yang paling disukai, gambar tangan dan gambar tangan yang mengganggu.
"Tangan yang mengganggu adalah tangan yang mengingatkan pada rasa sakit," jelas Davido.
Tes gambar tersebut menurut Davido menyentuh seseorang sehingga ia bisa bercerita mengenai apa yang telah dia lalui. Gambar-gambar dalam tes tersebut diharapkan bisa mengungkap trauma pada masa kanak-kanak.
Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Indonesa Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono menggunakan tes CHaD untuk mengetahui kepribadian 10 mantan teroris di Indonesia, dan menuangkannya dalam buku "Deradikalisasi Kepribadian Mantan Teroris dengan Menggunakan Tes Psikologi Davido-CHaD".
Sarlito mengatakan tes itu bisa mengungkapkan hal-hal yang tidak terungkap dalam wawancara biasa, seperti riwayat kekerasan seksual yang dia alami.
"Ketika berbicara gambar tangan, kita tidak lagi berbicara tentang dirinya. Tangan itu lah dirinya," kata Sarlito dalam diskusi "Pendekatan Psikologis dalam Memahami Kekerasan" di Institut Francais d'Indonesie, Selasa (14/4) malam.
Tangan merupakan proyeksi diri, bisa mengungkap apa yang tidak pernah diceritakan kepada orang lain. Dalam psikologi, kata Sarlito, gambar merupakan cara untuk kembali ke masa lalu.
Menurut analisisnya, pelaku tindakan radikal cenderung berlaku agresif semasa kecil. Perilaku agresif itu merupakan ekspresi terhadap tekanan.
"Sasarannya, objek atau subjek yang lebih lemah dari dia," jelas penasihat ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu.
Bila tidak dapat melampiaskan agresivitas kepada objek atau subjek lain, Sarlito melanjutkan, maka yang bersangkutan akan bertindak agresif kepada dirinya sendiri.
Sementara Davido mengungkapkan bahwa pelaku tindakan radikal cenderung memandang buruk dirinya sendiri.
Di antara pelaku tindakan radikal juga ada yang pernah menjadi korban saat mereka lebih muda, tetapi menurut Sarlito kondisi tersebut tidak bisa digeneralisir.
"Tidak semua jadi begitu. Mungkin dia tidak menjadi teroris, tapi meneror dirinya sendiri," tambah Davido.
Tes psikologi
Anak yang mengalami perlakuan yang tidak baik terkadang dianggap tidak pintar di sekolah karena mereka tidak dapat menulis dan memperkenalkan dirinya sendiri.
Anak-anak itu menyimpan trauma mereka di dalam kepala dan merasa malu untuk membaginya dengan orang lain.
"Anak yang mengalami kekerasan itu akan memikirkan hal lain di luar kelas," jelas Davido.
Bantuan psikolog diperlukan untuk memahami anak-anak korban kekerasan, membantu dia berbagi cerita dan menjalani kehidupan normal.
Davido menampik penggunaan tes psikologi untuk mengukur intelejensia anak karena menurut dia manusia tercipta unik dan memiliki tingkatan intelejensia yang berbeda-beda.
"Tes ini untuk menunjukkan setiap orang adalah unik," demikian Roseline Davido.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015