Oslo (ANTARA News) - Tiongkok akan menyusul Amerika Serikat sebagai penyebab utama pemanasan global akibat kegiatan manusia sejak 1990, tahun yang menjadi tolok ukur upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Emisi gas rumah kaca Tiongkok sejak 1990, ketika pemerintahan mulai menyadari perubahan iklim, akan melampaui emisi Amerika Serikat pada 2015 atau 2016 menurut perkiraan para ahli Norwegia dan Amerika Serikat.
Pergeseran yang mencerminkan lonjakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok itu menimbulkan pertanyaan tentang kesalahan historis yang menyebabkan peningkatan suhu serta lebih banyak banjir, penggurunan, gelombang panas, dan kenaikan permukaan air laut.
"Beberapa tahun lalu emisi perkapita Tiongkok rendah, tanggung jawab historisnya rendah. Itu berubah cepat," kata Glen Peters dari Center for International Climate and Environmental Research Oslo (CICERO), yang mengatakan bahwa tingkat emisi Tiongkok akan melampaui Amerika Serikat tahun ini.
Menggunakan data yang sedikit berbeda, World Resources Institute yang berbasis di Amerika Serikat memperkirakan emisi karbon dioksida kumulatif Tiongkok total akan mencapai 151 miliar ton sepanjang 1990-2016, melampaui emisi Amerika Serikat yang total 147 miliar ton tahun depan.
Peningkatan emisi kumulatif itu "jelas meningkatkan klaim tanggung jawab Tiongkok dari negara-negara berkembang" menurut Daniel Farber, seorang profesor hukum di University of California, Berkeley.
Dalam prinsip dasar PBB tahun 1992, negara-negara kaya harus memimpin upaya pemangkasan emisi gas rumah kaca karena mereka mendapat kekayaan dengan membakar batu bara, minyak dan gas alam sejak Revolusi Industri bermula pada abad ke-18.
Kesalahan bersama
"Semua negara sekarang punya tanggung jawab. Ini bukan hanya cerita tentang Tiongkok-- ini cerita tentang seluruh dunia," kata Ottmar Edenhofer dari Potsdam Institute for Climate Impact Research yang ikut memimpin penyusunan laporan iklim PBB tahun lalu.
Emisi kumulatif India sepanjang 1990-2020 akan melampaui Rusia dan berada di peringkat empat setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menurut perhitungan CICERO.
Tiongkok melampaui Amerika Serikat sebagai pembuang karbon dioksida terbanyak setiap tahun sekitar 2006 dan sekarang membuang lebih banyak gas rumah kaca dibandingkan gabungan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Beijing menyatakan tolok ukur terbaik untuk tanggung jawab historis adalah emisi perkapita sejak abad ke-18, yang membuat emisinya lebih kecil dari emisi Amerika Serikat.
Namun meregangkan kewajiban terlalu jauh ke belakang akan rumit. Apakah emisi gas methana penjebak panas dari lahan padi Asia pada abad ke-19 harus dihapus sekarang, dihitung bersama emisi karbon akibat pertumbuhan industri Eropa? Apakah Inggris bertanggung jawab atas emisi India sebelum kemerdekaan tahun 1947?
Para pengacara mengatakan sulit untuk menyalahkan orang yang hidup sekarang karena emisi pendahulu mereka yang tidak menyangka buangan gas rumah kaca bisa merusak iklim.
"Saya tidak merasa nyaman kembali ke belakang lebih dari satu generasi dalam hal tanggung jawab historis," kata Farber, berargumen bahwa Berlin akan sulit disalahkan kalau ada yang mati karena ladang ranjau Jerman saat Perang Dunia I di Prancis.
Seluruh pemerintah sekarang sedang membuat rencana untuk pertemuan iklim Paris bulan Desember, yang akan menetapkan target tahun 2025 atau 2030.
"Tiongkok bertindak. Mengakui posisinya sebagai pencemar utama," kata Saleemel Huq dari International Institute for Environment and Development di London. Dan tanggung jawab historis merupakan jantung pembicaraan untuk memecahkan masalah.
Ilmuwan panel iklim PBB tahun lalu memperkirakan manusia telah membuang 1,9 triliun ton karbon dioksida sejak akhir abad ke-19 dan hanya bisa membuang satu triliun ton gas rumah kaca sebelum peningkatan temperatur melampaui batas atas PBB sekitar dua derajat Celsius di atas rata-rata masa pra-industri.
Formula yang adil untuk pembagian triliunan ton, atau kasarnya tingkat emisi dalam 30 tahun, mau tidak mau mesti mempertimbangkan apa yang dilakukan masing-masing negara di masa lalu, kata Myles Allen, ilmuwan di Oxford University.
"Sampai orang mulai berpikir tentang kesalahan dan tanggung jawab mereka tidak menanggapi masalah itu dengan serius," katanya seperti dilansir kantor berita Reuters.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015