Kalau tidak boleh diintervensi, jangan pakai fasilitas yang disediakan pemerintah. Ini karena kita tahu semua fasilitas olahraga yang mereka gunakan dibuat oleh pemerintah
Jakarta (ANTARA News) - Penghentian sementara kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2015 mengakhiri krisis yang menerpa laju roda sepak bola kasta tertinggi nasional.
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang berkonco dengan PT Liga Indoesia dihadap-hadapkan dengan Kemenpora yang berkarib dengan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Simsalabim, dipakailah satu kata telak yakni "versus". Siapa melawan siapa.
Setelah melewati dilema, antara memilih ini atau memilih itu, PSSI akhirnya menghentikan sementara ISL 2015 terhitung 12 April 2015 sampai menanti solusi yang diambil seturut keputusan Kongres PSSI yang dihelaat pada 18 April di Surabaya. Keputusan itu diambil terkait dengan rekomendasi dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
Asal muasal krisis tercetus ketika BOPI mengirim surat kepada CEO PT Liga Indonesia, Joko Driyono, yang isinya tidak memberi lampu hijau kepada Persebaya Surabaya dan Arema Cronus untuk berlaga melakoni laku derap kompetisi.
Larangan itu diamini sepenuhnya oleh surat dari Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi kepada Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti. Kepolisian lantas diminta tidak menerbitkan izin keramaian bagi kedua klub tersebut.
Krisis berlanjut, ketika Arema dan Persebaya justru mengabaikan rekomendasi BOPI. Kedua klub yang memiliki basis pendukung besar itu justru bersikukuh menjalani laga perdana ISL, akhir pekan lalu. "Kedua klub tersebut dilarang melakukan pertandingan kandang maupun tandang untuk Kompetisi ISL 2015," demikian bunyi surat BOPI.
Krisis ISL 2015 memuat narasi kecil, meminjam istilah mentereng postmodernisme, yang merujuk dan mengarah kepada keberanian untuk terus melakukan introspeksi dengan menancapkan empat kata dalam diri mereka yang bersilang pendapat, yakni jangan terus berpura-pura.
Sebelum mengurai karut marut, sebelum melakukan introspeksi, baik juga melakukan langkah praktis dengan menyelesaikan konflik internal yang menerpa Arema dan Persebaya.
Hanya kedua klub pujaan masyarakat Jawa Timur itulah yang dapat menyelesaikan dan menuntaskan krisis yang melanda mereka. Resepnya, jalinlah dialog hangat dengan bermodal kebeningan hati berpegang kepada keberanian menanggalkan kepura-puraan.
Apa itu kepura-kepuraan? Filosof dan tokoh perdamaian India, Mahatma Gandhi berujar, "ketika bertengkar atau berselisih pendapat dengan orang lain, kita sedang berusaha melawan pikiran kita masing-masing." Inilah jalan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi sejatinya menanggalkan dan meninggalkan kepentingan diri sendiri. Ajukan dua pertanyaan yang mengulik diri. Pertama, mengapa mereka yang berseteru atau berkonflik dengan kita justru berpikir dan berlaku seperti itu? Kedua, pengalaman apa sesungguhnya yang telah mereka jalani sehingga menghasilkan opini dan perilaku seperti itu?
Pengalaman masa lampu Arema dan Persebaya sarat onak berduri. Arema Cronus jatuh bangun dengan konflik pengelolaan sejak 2011 yang menjerumuskan klub itu kepada dualisme, Arema ISL dan Arema IPL. Ironisnya, kedua klub itu memakai pengelola yang sama, yaitu PT Arema Indonesia.
Setali tiga uang, Persebaya juga mengalami sengketa antara PT Persebaya Indonesia dengan PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB) pimpinan Diar Kusuma yang kini ditahan akibat terkena kasus korupsi.
Dengan melakukan dan menerapkan rekonsiliasi, maka mereka yang berseteru dapat menghentikan gaya hidup "outside-in", yaitu gaya hidup yang dengan sia-sia mengejar pengakuan atau kepuasan berdasarkan apa yang semata-mata dimiliki dan dianggap "benar" secara pribadi.
Rekonsiliasi juga dapat menyuburkan gaya hidup "inside-out", yaitu melihat ke dalam diri masing-masing untuk mencari guna menemukan apa sejatinya tujuan ziarah hidup kita masing-masing.
Setelah mengalami guncangan dilema, justru rintisan rekonsiliasi telah ditempuh oleh Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin. Dengan bersikap responsif tanpa kepura-puraan, petinggi PSSI itu menyikapi teguran tertulis dari Menpora Iman Nahrawi, di satu sisi. Di lain sisi, PSSI terancam sanksi FIFA bila melaksanakan tuntutan Menpora itu.
"Kami minta klub untuk menelaah dengan kepala dingin. Pada Selasa (14/4/2015), kami akan melakukan rapat komite eksekutif (exco) untuk membahasnya. Kami baru membalas surat dari Menpora pada Rabu (15/5/2015)," katanya di kantor PSSI, Kamis (9/4/2015).
"Yang pasti kalau FIFA mengeluarkan sanksi, maka timnas tidak akan bisa berlaga di SEA Games," kata Djohar menegaskan. Selain itu, penundaan kompetisi LSI 2015 harus dibayar tidak murah, karena kepercayaan publik sebagai mata uang dari setiap perhelatan kompetisi bakal mengalami defisit.
Post scriptum atau sebagai catatan, periode 12 sampai dengan 25 April 2015, ada 24 laga dalam rentang waktu itu, dan PT Liga Indonesia sedang menyusun jadwal anyar yang akan rilis setelah Kongres PSSI pada 18 April mendatang.
Badai pasti mengusir krisis. Jalan rekonsiliasi membentang ketika CEO PT LI, Joko Driyono menegaskan bahwa sampai saat ini sponsor utama dan stasiun televisi yang menyokong sepenuhnya kompetisi tidak berniat memutus jalinan kontrak. "Kami mengapresiasi mereka," kata Joko menegaskan.
Pendapat-pendapat itu muncul ketika keduanya mampu menerapkan visi "kita Indonesia" yang layak terus diperjuangkan. Rekonsiliasi sejatinya meletakkan hati ke dalam strategi untuk menyuburkan sepak bola Indonesia.
Terang benderang bahwa visi "kita Indonesia" justru berseberangan dengan pernyataan Menpora melalui perpanjangan tangan BOPI. "Kalau tidak boleh diintervensi, jangan pakai fasilitas yang disediakan pemerintah. Ini karena kita tahu semua fasilitas olahraga yang mereka gunakan dibuat oleh pemerintah," kata Imam di Mataram, Kamis (9/4/2015).
Tuah positif dari krisis LSI 2015, yakni buatlah visi masa depan yang layak terus diperjuangkan. Filosof Romawi abad pertama, Seneca, menyatakan, "Jika seseorang tidak tahu ke arah mana ia berlayar, maka tidak ada angin yang dirasa cocok."
(A024)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015