Rawa Rontek itu tidak ada dalam cerita Jaka sembung, itu adalah cerita dari komik saya yang lain, yaitu si Tolol."
Jakarta (ANTARA News) - Masih jelas di ingatan Djair Warniponakanda sebagai penulis novel Jaka Sembung bagaimana karyanya diobrak-abrik sewaktu difilmkan oleh Sutradara Sisworo Gautama Putra.
Film yang diberi judul "Jaka Sembung Sang Penakluk" produksi 1981 itu menceritakan Jaka Sembung yang diperankan oleh Barry Prima melawan Rawa Rontek.
"Rawa Rontek itu tidak ada dalam cerita Jaka sembung, itu adalah cerita dari komik saya yang lain, yaitu si Tolol," kata Djair saat selesai pemutaran film "Garuda Power the Spirit Within" di IFI Jakarta, Kamis (9/4) malam.
Selain Rawa Rontek, film yang didistribusikan oleh Rapi Film itu juga menceritakan Jaka Sembung (yang memiliki nama asli Parmin). Pada awalnya kalah melawan Rawa Rontek, kemudian matanya dicungkil serta disihir menjadi babi.
"Pada saat itu, penulis dianggap orang luar walaupun saya sudah protes kepada mereka. Akan tetapi, tetap saja produser dan penulis naskah membuat cerita sesuai yang mereka anggap menarik," kata pria kelahiran 13 Mei 1945 itu.
Pemilihan Barry Prima sebagai bintang film pun dianggapnya tidak sesuai dengan penggambaran Jaka Sembung sebenarnya.
"Barry Prima kan setengah Belanda setengah Indonesia, kulitnya putih, hidungnya mancung tidak sesuai dengan Jaka Sembung yang gantengnya ganteng Indonesia. Apalagi, dalam film tersebut rambutnya gondrong. Sebenarnya Jaka Sembung rambutnya kan biasa saja, pendek," kenang dia.
Dari penuturannya, setelah pemutaran film tersebut, banyak penggemar buku Jaka Sembung melayangkan surat penggemar kepadanya karena cerita film tidak sesuai dengan cerita yang dia karang.
Akan tetapi, terlepas dari semua ketidaksesuaian itu, toh cerita itu menuai kesuksesan dan dilanjutkan dengan film "Si Buta Lawan Jaka Sembung" produksi 1983.
Jaka Sembung pun dikenang sepanjang masa oleh banyak orang hingga ke generasi sekarang yang mungkin mereka mereka tidak tahu jalan cerita aslinya, tetapi hanya mengenal "sang pahlawan" karena warisan cerita dari orang tua mereka.
Dua rumah produksi Sinemart Pitcures dan Falcon Pitcures disebut-sebut ingin membuat ulang film Jaka Sembung.
Menanggapi hal tersebut, Djair berpendapat bahwa Jaka Sembung ingin difilmkan kembali karena kini masanya genre silat diminati kembali.
"Yah, mungkin tahun ini film silat menjadi genre yang seksi, dapat dilihat dari Miles Films yang memproduksi Pendekar Tongkat Emas pada awal 2015," katanya.
Film tersebut mengangkat cerita dari komik dengan judul yang sama.
Meskipun produksinya memakan biaya relatif cukup fantastis, yaitu sekitar Rp25 miliar, sayangnya tidak serta-merta dapat menarik penonton hingga angka 1,7 juta orang, seperti yang mereka targetkan.
Menurut Djair, cerita Pendekar Tongkat Emas terlalu sederhana, hanya seputar mendapatkan Tongkat Emas. Oleh sebab itu, tidak begitu menarik perhatian masyarakat.
"Berbeda dengan Jaka Sembung yang memiliki masalah lebih kompleks. Dia adalah orang biasa yang berusaha melawan penjajahan, yang memiliki mata pencaharian, yang mempunyai keluarga, dan mematuhi ajaran agama. Oleh sebab itu, Jaka Sembung dekat di hati penonton," kata dia.
Superhero Indonesia
Siapa yang tidak kenal Superman, Batman, Spiderman, Iron Man, Captaint America, Hulk, Thor, dan pahlawan-pahlawan lainnya yang tergabung dalam The Avangers atau Justice League.
Gempuran film dan komik "superhero" ala Amerika membuat publik di Indonesia melupakan karakter-karater pahlawan versi Tanah Air.
Dahulu, Indonesia punya Jaka Sembung, Gundala Putra Petir, Godam, Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Gledek, Panji Tengkorak, dan lainnya, yang tidak hanya diciptakan, tetapi juga hidup serta dikenang oleh pembacanya.
Djair berpendapat bahwa masyarakat sekarang tidak memiliki tokoh "superhero" lagi. Oleh sebab itu, harus ada tokoh yang sangat kuat karakternya sebagai orang Indonesia agar dapat menarik perhatian masyarakat.
"Saya punya cerita tentang seorang superhero yang tidak berasal dari planet lain. Akan tetapi, dia berasal dari kloningan ciptaan seorang profesor. Walaupun begitu, dia taat kepada Tuhan, bukan kepada profesornya, saya rasa karakter seperti itu akan gampang diterima oleh masyarakat," kata dia.
Dia yang telah menciptakan berpuluh-puluh cerita beserta karakternya, seperti Jaka Sembung, Jaka Geledek, Si Tolol, Raja dari Raja-Raja Pedang, dan Trio AIN.
Menurut komikus yang suka menulis cerita silat itu, ide untuk menciptakan tokoh-tokoh pahlawan super selalu ada pada setiap pengarang. Namun, untuk membuatnya jadi nyata, dibutuhkan sineas yang mengangkatnya menjadi sebuah film.
"Akan tetapi, apakah sineas Indonesia telah mampu mengangkat cerita tersebut menjadi nyata? Kalau kemampuannya cuma nanggung-nanggun, seperti visual efeknya belum bisa mendukung jalannya cerita, nanti jadinya norak," kata dia.
Yah, mungkin kini publik Indonesia belum menemukan lagi pahlawan super, seperti Jaka Sembung, yang memberontak melawan penjajah. Akan tetapi, suatu saat nanti akan ada tokoh yang menjadi idola.
Entah itu tokoh wayang, manusia kloning, pendekar silat, robot, polisi, makhluk luar angkasa, profesor, atau ulama.
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015