Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pengembangan Fasilitas Industri Wilayah 1 Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan bahwa masalah utama yang kerap dihadapi dalam pengembangan kawasan industri adalah lahan.
"Masalah pengembangan kawasan industri ada tiga, tapi itu terkait dengan lahan semua dan urusannya berbeda satu sama lain," kata Suryawiryawan ketika ditemui di Jakarta, Kamis.
Permasalahan pertama, ujarnya, mengenai ada atau tidaknya peraturan daerah (perda) tata ruang yang mengatur rencana pengembangan kawasan industri di daerah tersebut.
Kemudian terlepas dari ada atau tidaknya perda yang dimaksud, ia menganggap wilayah yang ingin dikembangkan menjadi kawasan industri harus layak dan memiliki potensi bisnis yang dapat berlangsung dalam waktu cukup lama.
"Kita harus tahu, apakah lokasinya daerah rawa atau perbukitan. Jika mengembangkan daerah seperti itu biayanya sangat mahal. Lalu juga harus dekat dengan akses distribusi atau logistik," ujarnya.
Terakhir ialah soal ownership (kepemilikan), yang ia anggap menjadi masalah laten karena banyaknya pemilik lahan yang enggan memberikan sertifikat dan cenderung hanya memberikan hak sewa.
Menurut dia apabila ketiga masalah tersebut dapat diatasi maka Indonesia akan memiliki pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa, dan akan berdampak pada bertambahnya lapangan kerja bagi masyarakat.
Pada kesempatan yang sama ia juga menjelaskan bahwa saat ini industri Indonesia terlalu terpusat di Pulau Jawa.
"Industri maunya hanya di Pulau Jawa saja. Termasuk shore base juga di Jawa. Padahal kegiatan industri jenisnya banyak, tapi maunya di sini saja. Ketersediaan lahan juga akhirnya jadi masalah," tuturnya.
Menurut dia, kondisi Pulau Jawa sudah melebihi kapasitas bagi pembangunan kawasan industri maupun shore base, sehingga perlu dilakukan upaya perluasan ke pulau lain yang memiliki potensi ekonomi tinggi.
Sebaran industri terbesar berada di Pulau Jawa, dengan jumlah mencapai 19.201 atau sekitar 83,04 persen dari total keseluruhan, sedangkan di Pulau Sumatera dan Kalimantan hanya 2.402 dan 382 atau masing-masing 10,39 persen dan 1,65 persen.
Sedangkan untuk wilayah Indonesia tengah dan timur seperti Pulau Sulawesi hanya terdapat 549 IBS, atau sekitar 2,37 persen, Nusa Tenggara 171 IBS atau 0,74 persen, Kepulauan Maluku 36 IBS atau hanya 0,16 persen.
"Yang terkecil Papua, hanya ada 41 IBS atau sekitar 0,18 persen dari total industri di Indonesia," ujar Suryawirawan.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015