Dua orang yang divonis bersalah pada minggu lalu hanya karena memberikan opini mereka secara online, ujar Campaigner-Indonesia & Timor-Leste Southeast Asia and Pacific Regional Office Amnesty International, Josef Roy Benedict, dari London, Rabu.
Amnesty International menganggap mereka yang dipenjara di bawah UU ITE semata-mata karena menjalankan kebebasan berekspresi dan beropini atau berkeyakinan, bernurani, dan beragama secara damai, sebagai tahanan nurani (prisoners of conscience) dan menyerukan pembebasan mereka segera dan tanpa syarat.
Amnesty International juga menyerukan kepada pihak berwenang mencabut ketentuan-ketentuan pidana pencemaran nama baik yang ada di dalam UU ITE dan Kitab Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Pada 31 Maret lalu, Pengadilan Negeri Bandung menghukum Wisni Yetty, (47) dari Bandung, Jawa Barat, lima bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Dia dapat dipenjara tambahan enam bulan jika tidak mampu membayar denda.
Wisni divonis di bawah Pasal 27(1) dari UU ITE karena menyebarkan konten elektronik yang melanggar kesusilaan setelah dia menuduh mantan suaminya melakukan kekerasan dalam percakapan online pribadinya dengan teman di media sosial Facebook.
Dalam kasus terpisah pada hari yang sama, PN Yogyakarta menghukum Florence Sihombing, seorang mahasiswi, dua bulan penjara dengan masa percobaan selama enam bulan dan denda sejumlah Rp 10 juta.
Ia divonis karena pidana pencemaran nama baik di bawah Pasal 27(3) dari UU ITE, setelah ia memposting di akun path media sosialnya tentang kekesalan dia atas situasi seketika yang dia alami di Yogyakarta. Menurut Hakim Ketua, posting-an tersebut berisi penghinaan dan menciptakan keresahan di kalangan warga Yogyakarta.
Menurut Amnesty International, vonis dan penghukuman kedua perempuan di atas bertentangan dengan kewajiban Indonesia di bawah Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), khususnya Pasal 19, dan juga Pasal 28E(2) dari Konstitusi Indonesia, yang menjamin hak atas kebebasan beropini dan berekspresi.
UU ITE digunakan untuk kasus-kasus pidana pencemaran nama baik lainnya, seperti pada Fadli Rahim, pegawai negeri sipil yang saat ini menjalani delapan bulan penjara setelah divonis bersalah PN Sungguminasa di Gowa, Sulawesi Selatan, karena mengkritik pemerintahan bupati setempat di akun grup percakapan tertutupnya di media sosial Line.
Di Tegal, Jawa Tengah, dua aktivis anti-korupsi, Agus Slamet dan Udin, diancam pidana di bawah UU ITE setelah bupati Tegal melaporkan mereka ke polisi karena posting gambar satir di Facebook yang menurutnya merupakan penghinaan.
Pasal 27 dan 28 dari UU ITE juga digunakan mempidanakan tindakan yang dianggap menodai agama atau sebagai ajaran sesat.
Abraham Sujoko, dari NTB, saat ini menjalani dua tahun penjara karena menodai agama di bawah Pasal 27(3) dari UU ITE setelah memposting video tentang dirinya di You Tube menyatakan sesuatu tentang ka'bah (bangunan suci umat Islam di Mekah). Dia juga didenda Rp 3,5 juta.
Menurut kelompok masyarakat sipil yang bekerja di isu kebebasan berekspresi di internet, paling tidak ada 85 orang yang telah didakwa di bawah UU ITE sejak 2011, sebagian besar diancam lewat Pasal 27 dari UU ini.
Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Semena-mena (UN Working Group on Arbitrary Detention/WGAD) mengkritik penggunaan ancaman pidana pencemaran nama baik sebagai alat menekan kebebasan berekspresi.
Pada Juli 2013, Komite HAM PBB, yang dibentuk berdasarkan ICCPR, dalam Pengamatan Akhirnya (Concluding Observations) terhadap Indonesia, menunjukan keprihatinannya atas penerapan ketentuan-ketentuan pencemaran nama baik di dalam UU ITE dan KUHP, dan meminta Indonesia untuk merevisi UU tersebut untuk memastikan bahwa revisinya sesuai dengan Pasal 19 dari ICCPR.
Amnesty International menyambut baik laporan DPR telah menjadwalkan revisi UU ITE di dalam Program Legislasi Nasional 2015 dan mendesak undang-undang ini direvisi sesuai dengan kewajiban HAM internasional Indonesia.
Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015