Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong mengadakan kunjungan empat hari ke Tiongkok mulai 7 April untuk bertemu dengan Sekretaris Jenderal Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok dan juga Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping serta pemimpin tinggi lainnya.
Rencana lawatan yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan bilateral ini dapat terjadi setelah krisis tahun lalu yang membuat hubungan bilateral tegang.
Vietnam belakangan ini aktif menjalin kemitraan dengan kekuatan-kekuatan di kawasan Asia Pasifik dengan Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok khususnya.
Para pengamat berpendapat Tiongkok dengan kekuatan ekonomi dan militernya bisa menjadi pesaing Amerika Serikat yang diprediksi masih tetap akan menjadi aktor paling berpengaruh di dunia tapi dominasinya cenderung melemah dibandingkan kekuatan-kekuatan dunia lainnya termasuk Tiongkok.
Sementara Tiongkok dan negara-negara tetangganya bertikai soal kepemilikan dan hak maritim di Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, Amerika Serikat telah menyatakan komitmen sesuai dengan perjanjiannya untuk membela dua negara yang menentang klaim Tiongkok (Jepang dan Filipina) dan telah menjalin hubungan erat dengan negara ketiga (Vietnam).
Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah yang menjadi sengketa teritorial antara Tiongkok dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Brunei.
Kepulauan wisata Paracel jadi sengketa antara Tiongkok dan Vietnam selama lebih dari 20 tahun. Kedua negara juga berselisih soal kepemilikan Johnson South Reef (Dag Gac Ma) dan Feiry Cross Reef (Da Chu Thap), bagian dari Kupulauan Spratly.
Vietnam menyatakan pihaknya memiliki berbagai dokumen hukum dan bukti sejarah ketika Dinasti Nguyen memerintah Vietnam dari 1802 hingga 1945 atas kedaulatan Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Spratly (Truong Sa) dan sesuai dengan hukum internasional.
Sejak Tiongkok mengambil alih Paracel pada 1974 setelah bentrok dengan Vietnam Selatan, muncul sejumlah klaim atas siapa pemilik kumpulan 40 pulau kecil tersebut, termasuk salah satunya dengan Taiwan (Republik China).
"Menguasai Laut Tiongkok Selatan merupakan tujuan lama Beijing," kata Prof. Do Tien Sam dari the Hanoi Institute of Chinese Studies beberapa waktu lalu. "Setiap kegiatan Tiongkok di kawasan itu dilakukan untuk menghalangi negara-negara lain yang mengklaim,
Prof. Sam berpendapat Tiongkok tidak hanya melanggar kedaulatan Vietnam dan perjanjian-perjanjian yang dicapai dengan Vietnam pada 2011, ketika Beijing dan Hanoi menyatakan komitmen mereka untuk mengatasi perselisihan Laut Tiongkok Selatan melalui negosiasi dan konsultasi secara damai dan bersahabat, tetapi yang terpenting sesuai dengan "Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (DOC)".
Asia Tenggara dan Asia Timur rentan konflik. Hubungan di antara negara-negara di kawasan tersebut diliputi oleh pengalaman buruk: kolonialisme termasuk pendudukan oleh negara-negara tetangga, perbedaaan ideologi, perang, perselisihan diplomatik dan bentrokan-bentrokan berdarah.
Beberapa negara tidak ingin terlalu "dekat" dengan yang lain-lainnya di kawasan itu tetapi mereka tidak ingin terlalu jauh juga, kata Dinna Wisnu Ph.D, dekan Paramadina Graduate School of Diplomacy, Universitas Paramadina, dalam tulisannya di jurnal "lobal Perspectives" (January-March 2013, Vol. 3 No.1).
Menurut dia, dengan peningkatan kompetisi ekonomi di Asia, termasuk terjaminnya akses kepada energi, rute perdagangan efisien, kecurigaan dan perlunya melindungi kebanggaan nasional juga berkembang.
Robert Kaplan, penulis dan waratawan Amerika, menulis di majalah "Foreign Policy" pada 2011 bahwa masa depan konflik dunia akan berada di laut-laut Asia. Ia berpendapat perselisihan territorial di Laut Tiongkok Selatan berpontensi jadi konflik besar.
Konflik di Laut Tiongkok Selatan merupakan satu kasus. Tiongkok dengan penduduk 1,34 miliar jiwa berusaha mencari cara-cara untuk memberi makan rakyatnya dan mengelola sumber dayanya bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi.
Hubungan bilateral tegang
Tahun lalu hubungan Vietnam dan Tiongkok tegang menyusul krisis anjungan minyak HD 981 di Laut Tiongkok Selatan, membuat hubungan diplomatik antara kedua bertetangga itu berada pada titik paling rendah sejak berakhirnya Perang Tiongkok-Vietnam pada 1979.
Untuk meredakan ketegangan, para pejabat senior kedua negara saling berkunjung ke masing-masing ibu kota tahun lalu dan pada 10 November 2014, Presiden Xi bertemu dengan rekan sejawatnya dari Vietnam Truong Tan Sang di sela KTT APEC di Beijing.
Vietnam mengakui bahwa Tiongkok adalah pemain ekonomi dan keamanan kunci di Asia dan Tiongkok juga salah satu kekuatan militer terkemuka di dunia. Suatu konfrontasi militer akan berakibat fatal bagi Vietnam. Jika terjadi konflik terbuka dengan Tiongkok, ekonomi Vietnam yang sedang berkembang akan keluar jalur.
Tiongkok memasok lebih 50 persen bahan mentah tekstil ke Vietnam, banyak yang Hanoi gunakan untuk membuat pakaian yang dijual di pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara. Dari sana, Vietnam memperoleh pendapatan berupa mata uang asing. Vietnam mengalami defisit perdagangan dengan Tiongkok sekitar 24 miliar dolar AS (senilai 15 persen dari GDP Vietnam) pada 2013.
Baru-baru ini Vietnam bergabung dengan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang dipimpin Tiongkok dan rencana-rencana untuk meminjam uang bagi pembangunan infrastruktur. Selain itu, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah meraih lebih 90 persen kontrak di sektor konstruksi, pengadaan barang dan rekayasa utama di Vietnam. Memahami kerentanan-kerentanan ini, Vietnam tak akan mengambil risiko mempertaruhkan hubungannya dengan Tiongkok.
Xi Jinping yang telah berbicara dengan Nguyen Phu Trong tiga kali melalui telepon terkait ulang tahun ke-65 hubungan diplomatik Tiongkok-Vietnam mengatakan sejalan dengan kepentingan fundamental kedua pihak dan kondusif bagi perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan regional, kedua pihak harus memperkuat saling kepercayaan, meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan dan mengatasi perbedaan-perbedaan.
Salah satu perbedaan yang dihadapi Tiongkok dan Vietnam dan juga negara-negara anggota ASEAN terkait klaim di Laut Tiongkok Selatan ialah bagaimana mereka segera memiliki Code of Conduct (CoC).
"Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)" yang menjadi batu loncatan antara hubungan para pihak mengenai kawasan tersebut dan yang disepakati pada tahun 2002 belum berhasil memenuhi misinya untuk membangun rasa saling percaya di antara negara-negara yang terlibat di dalam konflik tersebut dan untuk mencegah konflik berkembang lebih jauh.
Selama ini dokumen DOC hanya berfungsi untuk memberi batasan-batasan moral bagi para pihak yang terkait. Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri, dokumen DOC setidaknya telah berperan sebagai referensi ketika muncul masalah atau terjadi ketegangan dan juga berperan sebagai dasar untuk negosiasi mengenai penyusunan dokumen Code of Conduct (COC). Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengatakan Indonesia mendorong implementasi dan finalisasi (CoC).
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015