Ambon (ANTARA News) - Kepala Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tual, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mukhtar A.Pi menyatakan, evakuasi terhadap 319 Anak Buah Kapah (ABK) asal Myanmar, Laos dan Kamboja dari Benjina, Kepulauan Aru didasari pertimbangan keselamatan jiwa mereka.
"Jiwa mereka terancam oleh raja-raja kecil atau tekong di atas kapal yang banyak berasal dari Thailand," katanya, saat dikonfirmasi, Senin.
Menurut dia, para ABK asal tiga negara ASEAN itu meminta untuk dipulangkan karena tidak adanya aparat pengawasan dan keamanan yang dapat menjamin keselamatan mereka.
Ratusan ABK asal Myanmar, Laos dan Kamboja itu dipekerjakan oleh tekong-tekong di atas kapal milik PT. Pusaka Benjina Resources yang bermarkas di Pulau Benjina, Kebupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Mukhtar juga menyatakan delegasi negara Myanmar akan datang ke Tual pada Selasa (7/4), untuk berkoordinasi bagi pemulangan para ABK asal negara mereka itu.
Sebanyak 319 ABK asing, 253 di antaranya warga negara Myanmar, kini ditampung di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kota Tual, setelah dievakuasi dari Benjina pada Jumat lalu (3/4).
Mukhtar mengungkapkan, jumlah ABK asing yang masih tertahan di Benjina saat ini mencapai 806 orang, terdiri dari 746 ABK asal Thailand dan 60 ABK asal Myanmar.
Ditambahkannya, tim Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing yang melakukan kunjungan ke Benjina selama dua hari menemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal milik PT. Pusaka Benjina Resources.
Pelanggaran itu antara lain mempekerjakan tenaga kerja asing dari Myanmar, Laos dan Kamboja tetapi di dokumennya tertera berkewarganegaraan Thailand.
Tim juga menemukan indikasi adanya praktek perbudakan menyusul ditemukannya sel tahanan dan kuburan masal di Benjina, serta pengakuan para ABK yang pernah disiksa.
"Informasi ini sekaligus meluruskan pemberitaan di media massa online nasional yang menyatakan evakuasi 319 ABK asing dari Benjina tidak terkait isu perbudakan," kata Mukhtar menegaskan.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015