Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi cara memblokir situs yang diduga menyebarkan paham atau simpatisan radikalisme.
"Ke depan sebaiknya dievaluasi mengenai caranya itu, jangan begitu," kata Jimly di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu.
Ia menyebutkan penjelasan pemerintah mengenai langkah memblokir situs-situs itu memang harus didengarkan dulu karena tentu ada pertimbangan-pertimbangan positifnya.
"Cuma caranya yang mau terabas saja, sikat dulu urusan belakangan atau mau ambil mudahnya saja itu, ke depan sebaiknya dievaluasi," katanya.
Jimly mengungkapkan adanya dugaan cara pemerintah itu merupakan sikap pemerintah yang mau bikin gampang, putuskan dulu urusan belakang.
"Jadi nanti para pemilik situs yang dapat membuktikan dia tidak seperti yang dituduhkan tentu bisa direhabilitasi," katanya.
Jimly menyatakan setuju dengan adanya langkah blokir terhadap situs yang memang berbahaya termasuk pornografi.
"Tindakan untuk memblokir setiap tiga bulan, itu tidak apa-apa karena para penjahat juga canggih juga, setiap minggu bikin inovasi juga," katanya.
Sementara itu terkait penyebaran paham radikal, Jimly mengatakan semua warga bangsa khususnya umat Islam Indonesia agar tidak terpengaruhui oleh Negara Islam Iraq dan Syria (ISIS).
"ISIS itu ciptaan bersumber dari krisis internal di Iraq. Islam itu hanya bumbu atau merk yang sengaja dipakai untuk menarik simpati dan keterlibatan dunia islam pada umumnya," katanya.
Menurut dia, itu sama dengan penipuan psikologis sehingga tidak perlu percaya kepada ISIS.
"WNI tidak boleh berperang untuk kepentingan negara lain. Di UU kewarganegaraan sudah ada ancamannya yaitu bisa dicabut kewarganegaraannya, cabut paspornya," katanya.
Jimly juga mengimbau kepada pemerintah agar tidak mengatasi masalah dengan menerbitkan UU atau Perpu.
"Nanti kita terlalu banyak Perpu. Sudah banyak UU dan semua pasal bisa dipakai untuk menjerat kegiatan terkait ISIS ini," katanya.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015