Jakarta (ANTARA News) - Tindakan AS menuduh industri kertas Indonesia memperoleh subsidi dan melakukan dumping keliru, karena pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp tidak menggunakan Dana Reboisasi (DR) berbunga murah. "Selain DR berbunga murah, AS juga menuduh produk kertas bergaris Indonesia disubsidi dan melakukan dumping, karena pungutan pemerintah yang terlalu rendah, penyusutan yang dipercepat, dan penghentian ekspor log yang membuat bahan baku di Indonesia menjadi murah," kata Direktur Divisi Agro Sinar Mas Group, Soebardjo, di Jakarta, Jumat. Menurut dia, tuduhan subsidi dan dumping dari AS itu sebenarnya ditujukan kepada kebijakan pemerintah. Namun, katanya, mereka mengalamatkan tuduhan itu melalui swasta yang mengekspor kertas ke pasar AS. Untuk mengantisipasi pengenaan bea masuk (BM) Antidumping dan BM antisubsidi (countervailing duties), katanya, pemerintah sedang membahas upaya menangani kedua tuduhan. Sementara itu, Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), Hadi Susanto Pasaribu, menegaskan AS tidak dapat mengenakan BM antidumping dan BM antisubsidi untuk produk kertas Indonesia hanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai keinginan mereka. Upaya melarang ekspor log, penentuan besaran pungutan hasil hutan kayu, dan penyediaan dana murah untuk pembangunan HTI adalah murni kebijakan pemerintah untuk mengurangi laju degradasi hutan Indonesia, katanya menegaskan. "Itu kebijakan pemerintah. Mereka tidak dapat menuduh pemerintah Indonesia memberi subsidi. Kebijakan itu murni untuk melindungi hutan alam," kata Dirjen BPK. Menurut dia, AS keliru jika melarang pemerintah Indonesia berniat untuk memperbaiki lingkungan dan hutan tropis. Pada awal reformasi, Dana Moneter Internasional (IMF) berhasil menekan Indonesia untuk membuka kran ekspor log. Kebijakan itu kemudian berbuntut pada semakin cepatnya hutan Indonesia rusak karena maraknya illegal logging dan ekspor kayu bulat ke luar negeri dalam jumlah besar. Menurut Direktur Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Depdag, Martua Sihombing, tuduhan subsidi yang dilancarkan AS didasari oleh larangan ekspor kayu gelondongan dan bantuan pemerintah dalam pembangunan HTI yang diduga membuat harga kertas Indonesia lebih murah. Sebelumnya, AS mengenakan BM Anti Dumping (BMAD) sekitar 97,85 persen dan BM Anti Subsidi 40,55 persen atas kertas bergaris yang diekspor Indonesia ke pasar negara tersebut. Karena pengenaan BM itu, dua eksportir kertas bergaris dari Indonesia, PT Tjiwi Kimia dan Kelompok Usaha Sinar Mas, akhirnya mengalihkan ekspornya ke kawasan Asia daripada menanggapi tuduhan AS. Saat ini, kata Sihombing, AS kembali menuduh Indonesia melakukan praktek "dumping" dan subsidi atas produk kertas berlapis (coated paper). "Berdasarkan informasi yang kami dapat, sejak 21 November AS telah mulai memproses tuduhan dumping dan subsidi untuk kertas berlapis. Kita sudah menerima kuesioner dari mereka dan sudah siap menjawabnya," katanya. Sihombing mengemukakan pemerintah dan swasta sepakat menghadapi tuduhan itu karena pengalaman sebelumnya menunjukkan tuduhan yang tidak ditanggapi justru merugikan pengusaha Indonesia. "Kita sudah menerima kuesioner dari mereka dan siap menjawabnya," ujar Martua. Ekspor kertas berlapis Indonesia ke AS memiliki pangsa pasar 3,9 persen di AS dan diperkirakan terus meningkat. Selain Indonesia, tuduhan yang sama juga diajukan AS kepada Korea dan China. "Selain menuduh industri kertas nasional memperoleh subsidi dari pemerintah, AS juga mencurigai sebagian kertas berlapis yang diekspor Indonesia merupakan produksi China," kata Martua. (*)
Copyright © ANTARA 2006