... menyerukan kepada masyarakat internasional menyelesaikan nasib para korban penculikan, dan menyeret para pelakunya ke Mahkamah Kejahatan Internasional...
Jenewa, Swiss (ANTARA News) - Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Jumat, mengkritik keras Korea Utara atas penculikan sistematis terhadap warga asing, setelah hasil penyelidikan PBB menunjukkan negara itu telah menculik hingga 200.000 warga negara asing.
Namun, resolusi dewan yang beranggota 47 negara itu dikecam pejabat Kementerian Luar Negeri Kora Utara, Ri Hung Sik, yang menyatakan, resolusi itu rencana politik yang penuh dengan penipuan dan pemutarbalikan fakta.
Teks resolusi yang disahkan tersebut mengutuk penculikan sistematis Korea Utara, bantahan atas pemulangan dan penghilangan paksa orang, termasuk dari negara lain, dalam skala besar dan atas kebijakan negara.
Laporan hasil penyelidikan PBB yang dikeluarkan pada Februari 2014 itu menuding Korea Utara melakukan pelanggaran HAM yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini, termasuk penculikan sekitar 200.000 warga negara asing dari setidaknya 12 negara.
Sebagian besar korban penculikan adalah warga Korea Selatan yang terdampar setelah Perang Korea 1950-1953, namun ratusan lainnya berasal dari negara lain ditangkap atau hilang saat mengunjungi negara itu.
"Jumlah warga Jepang, yang diduga ditangkap untuk melatih bahasa dan budaya Jepang bagi mata-mata Korea Utara, saat ini diperkirakan mencapai ratusan orang", kata penyelidik PBB untuk situasi HAM di Korea Utara, Marzuki Darusman asal Indonesia, kepada wartawan pekan lalu.
Darusman, yang oleh resolusi itu mandatnya diperpanjang hingga setahun lagi, menyerukan kepada masyarakat internasional menyelesaikan nasib para korban penculikan, dan menyeret para pelakunya ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pada 2002, Korea Utara mengaku telah menculik 13 warga negara Jepang untuk melatih mata-matanya.
Lima korban sudah pulang ke rumah mereka, namun Pyongyang mengatakan --tanpa memberikan bukti kredibel-- bahwa delapan lainnya tewas.
Pyongyang pada Mei sepakat melakukan penyelidikan ulang atas kasus-kasus penculikan warga Jepang pada priode 1970 hingga 1980-an sebagai balasan atas pencabutan sanksi Jepang.
Resolusi Jumat itu mengatakan "mengharapkan hasil-hasil konkrit dan positif dari penyelidikan itu".
Kepada wartawan, Ri secara keras mengkritik Jepang yang mendukung resolusi karena mengangkat isu penculikan tersebut meski mengetahui bahwa masalah itu masih dalam penyelidikan.
"Masalah ini akan diselesaikan secara bilateral antara (Korea Utara) dan Jepang," katanya.
Dengan dibantu seorang penerjemah, Ri mengakui penculikan warga negara asing adalah tindakan salah, namun menekankan Korea Utara dan Jepang tengah memiliki hubungan buruk saat penculikan itu terjadi.
Ia juga bersikeras warga Jepang itu diculik bukan oleh otoritas negara tetapi oleh beberapa badan di Korea Utara.
Sementara untuk penculikan orang dari negara-negara lain, ia bersikeras: "Tidak ada penculikan warga negara lain".
Resolusi Jumat itu juga mengecam pelanggaran berat HAM yang berlangsung sejak lama, sistematis dan meluas yang dilakukan di Korea Utara.
Resolusi menyerukan kepada Pyongyang untuk mengakui kejahatan tersebut, termasuk dugaan kejahatan kemanusiaan dan mengambil langkah segera untuk mengakhiri semua pelanggaran itu, serta mendesak masyarakat internasional membantu menyeret mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.
Penyelidikan PBB pada 2014 mendengarkan pengakuan dari pelarian Korea Utara dan mendokumentasikan jaringan kamp penjara yang menampung hingga 120.000 orang bersama dengan kasus-kasus penyiksaan, eksekusi dan perkosaan.
Pyongyang menolak temuan-temuan itu, terutama setelah salah satu saksi kunci dalam laporan itu mencabut beberapa pengakuannya.
Laporan itu "terbukti salah oleh para saksi sendiri", kata Ri kepada Dewan HAM PBB, dan memperingatkan PBB telah dicurangi beberapa pengkhianat.
Amerika Serikat yang mendukung resolusi tidak meragukan pentingnya resolusi itu. "Korea Utara merupakan negara di dunia yang paling banyak melanggar HAM dan kebebasan," kata Duta Besar AS, Keith Harper, kepada Dewan HAM PBB.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015