Mereka merupakan orang-orang Betawi yang pergi ke Mekkah, Arab Saudi, selama waktu yang diperlukan untuk menuntut ilmu dan pulang sebagai haji.
Mereka merupakan saluran efektif untuk selalu terus memberikan pengajaran agama baik kepada muslim di Betawi maupun para pendatang dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Berkat peran ulamanya dalam mengembangkan dakwah Islam, orang Betawi kuat dalam memegang teguh ajaran agama Islam.
Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara, terutama di Betawi.
Selain itu, di Jakarta banyak masjid dan mushola yang dibangun di atas tanah wakaf. Ini bisa dimaknai bahwa orang Betawi, suku bangsa asli yang tinggal di Jakarta, berperan besar dalam pembangunan karakter khususnya di bidang keagamaan, baik di Jakarta maupun di lingkup nasional.
Orang Betawi, ternyata sejak dulu rela menyerahkan tanahnya untuk kemaslahatan umat. Mereka yakin bahwa tempat ibadah itu penting dalam pendidikan agama Islam. Karakter seperti ini dibentuk oleh ulama.
Tidak digaungkan
Namun, kenyataan itu tidak melulu diinformasikan dan diceritakan ke anak-anak muda Jakarta, khususnya anak muda Betawi.
Ini menimbulkan kekhawatiran jangan-jangan anak-anak muda Betawi saat ini tidak mengetahui dan memahami bahwa mereka mereka memiliki ulama yang memiliki perhatian besar terhadap pembangunan karakter keislaman.
Kisah tentang ulama Betawi ini juga diharapkan dapat menambah informasi bahwa setidaknya ada karakter islami orang Betawi yang dapat dibanggakan dan ditularkan kepada elemen masyarakat lainnya.
Karena minimnya penonjolan karakter positif orang Betawi, maka tak banyak masyarakat yang memahaminya. Sayangnya, justru karakter negatif, seperti suka memeras, berkelahi dan sok jagoan, yang muncul dan dipahami banyak orang sebagai karakter orang Betawi secara umum.
Memang menggaungkan karakter positif orang Betawi merupakan tugas individu yang memberikan perhatian soal ini. Namun, tentunya peran para tokoh Betawi dan organisasi masyarakat (ormas) kebetawian sangat diperlukan.
Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. Misalnya. Organisasi ini diharapkan lebih berperan dalam menggaungkan karakter positif orang Betawi, mengingat Bamus Betawi merupakan organisasi yang menaungi 98 ormas kebetawian yang ada.
Sebenarnya tidak hanya menggaungkan karakter, Bamus Betawi juga seharusnya lebih berperan dalam mengenalkan kebetawian kepada masyarakat luas, serta menciptakan kader-kader terbaik pada tingkatan kota maupun nasional.
Bamus Betawi juga seharusnya lebih mengenalkan Betawi yang ramah, rukun, dan cinta damai, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Ulama Betawi
Menurut portal resmi provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, pada abad ke-19 Mekkah merupakan jantung kehidupan keagamaan di Hindia Belanda. Terbukti dengan mengalirnya orang-orang untuk belajar di negeri tersebut, terutama dari Betawi.
Menurut orientalis Snouck Hurgronje, di perempat ketiga abad ke-19, sesepuh ulama Jawi di Mekkah adalah Junaed, yang berasal dari Betawi. Lebih dari 50 tahun Junaed menetap di Mekkah dan ia mengajar mukminin dari Betawi dan daerah lainnya di Indonesia, dengan bahasa Melayu sebagai pengantar baik di rumah maupun di Masjidil Haram.
Di samping itu masih banyak ulama lain dari Hindia Belanda yang memberikan pelajaran di Mekkah, misalnya Sumbawa dan Banten.
Meski tidak ditemukan data otentik, namun kenyataan membuktikan bahwa banyak pelajar Betawi yang menuntut ilmu ke Mekkah dan kota-kota lain di Timur Tengah.
Menurut Buya Hamka, ulama-ulama Betawi di sana menjadi kelas menengah yang berpengaruh. Dalam perjanjian antara Raja Ali (putera Raja Husein), penguasa Mekkah, dengan Raja Ibnu Saud yang berhasil merebut Mekkah pada 1925 disebutkan beberapa persyaratan.
Salah satunya adalah supaya beberapa orang besar dan ternama yang menjalin hubungan erat dengan penguasa Mekkah diberi kebebasan, di antaranya memiliki nama yang diujung namanya disebut Betawi. Misalnya Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, dan Syaikh Said Betawi. Keturunan orang Betawi di kemudian hari masih dalam perlindungan Kerajaan Arab Saudi, baik di Mekkah maupun Jeddah.
Di antara beberapa ulama Betawi yang cukup berpengaruh, baik di Betawi maupun di Mekkah, yaitu Syeikh Junaid Al Batawi, Guru Marzuki, Dato Biru, dan Imam Mujtaba.
Pada zaman Belanda dan Jepang, sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui kiprah dan perjuangannya yakni K.H. Abdullah Sjafii, KH Abdurrahman Nawi, dan Guru Mansyur.
Sementara itu sebuah kajian menyebutkan bahwa peranan ulama Betawi tidak saja besar dalam dakwah dan pendidikan, tetapi sekaligus memantapkan identitas kultural Betawi.
Berkaitan dengan itu, barangkali perlu ada upaya mendokumentasikan secara lengkap tentang kiprah ulama Betawi itu. Bukan untuk menonjolkan diri, tapi demi menimbulkan pemahaman bersama bahwa Betawi berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sebuah media online pernah menulis, "Jangan mengaku menjadi warga Jakarta bila tidak mengenal sosok ulama Betawi yang menjadi panutan. Ketika itu media tersebut ingin menggambarkan siapa dan bagaimana ulama KH Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan KH Guru Mughni."
Sepertinya pengenalan terhadap ulama-ulama Betawi perlu terus digaungkan, termasuk karakter-karakter positif orang Betawi yang pasti berguna dalam perjalanan sejalah bangsa Indonesia.
Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015