Jakarta (ANTARA News) - Bahasa toilet? Secara jenaka tetapi bermakna, dua kata itu dapat merujuk kepada pesan seorang ibu kepada buah hatinya yang beranjak dewasa, bahwa jangan merokok di meja makan ketika digelar jamuan makan bersama tamu terhormat, atau jangan menarik ingus di hidung di hadapan lawan bicara yang memunculkan suara mirip derit ban roda mobil meliuk di sirkuit jalanan.

Bahasa toilet mengemuka ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengeluarkan beberapa kali "kata-kata toilet" ketika menjawab pertanyaan penyiar Kompas TV, Aiman Witjaksono seputar tuduhan dirinya mencoba menyuap Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi senilai Rp12,7 triliun. Wawancara itu disiarkan secara langsung.

Bahasa toilet berpunggungan dengan bahasa sopan santun. Kalau lampu hijau lalu lintas menyala, maka pengendara tanpa kecuali wajib menghentikan kendaraannya, kecuali ada sejumlah alasan mendesak. Toh, seseorang merasa terdesak ketika ia hendak membuang hajat besar atau hajat kecil, kemudian ia mengajukan pertanyaan, "di mana toilet?" Setelah itu...rasanya plong.

Bahasa sopan santun diajar dan dihapal di sekolah-sekolah dasar dan menengah dengan dipandu kata "maaf seribu maaf". Kalau seorang murid sekolah kedapatan tidak mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, maka ia bisa meminta pemaafan begitu saja kepada sang guru, "Maaf, bu guru, hari ini saya tidak mengerjakan pekerjaan rumah."

Sebagai pemulih atas kealpaan itu, Ibu atau Bapak Guru meminta murid yang alpa itu menulis seratus kali kalimat di atas bukunya, "Saya akan lebih belajar giat dengan mengerjakan pekerjaan rumah." Ratusan kalimat itu harus diserahkan keesokan hari. Dan sang murid langsung melakukan perintah sang guru tanpa bertanya sana-sini, tanpa tengok kanan tengok kiri.

Gubernur Basuki berusaha berlaku sebagai murid yang baik di sekolah bernama DKI Jakarta. Setelah mengucapkan kata-kata toilet, ia meminta maaf kepada masyarakat. , "Aku perlu belajar lagi. Kata Pak JK (Wapres Jusuf Kalla), aku boleh keras dan tegas, tetapi jangan kasar. Ini kan soal belajar. Aku kira 'bahasa toilet' itu biasa saja, tetapi ternyata kasar," kata Basuki di Balai Kota, Selasa (24/3/2015).

Tercetus tanya, mengapa terlontar bahasa toilet? Ada krisis akal sehat! Dengan terang benderang, Gubernur Basuki merumuskan krisis akal sehat dengan menyatakan, "Kalau kamu hidup di tengah-tengah masyarakat yang begitu miskin, sementara oknum pejabat nyolong uang gila-gilaan dan dengan santun gaya bahasa agama, kamu muak nggak kira-kira?"

Pernyataan blak-blakan dengan menggunakan bahasa toilet dari Gubernur Ahok di Balai Kota pada Jumat (20/3/2015) itu merujuk kepada krisis akal sehat seputar penggunaan uang. Bukankah selarik ungkapan Latin klasik menyamakan uang dengan bau kotoran toilet.

"Pecunia non olet", uang tidak pernah berbau. Terjemahan bebasnya, siapa pun menyukai dan mengejar uang. Latar belakang ungkapan ini, adalah ketika Kaisar Vespasianus ingin menerapkan pajak kamar mandi dan peturasan umum. Banyak warga masyarakat waktu itu yang menentang prakarsa itu. Kaisar kemudian berucap, "pecunia non olet".

Bahasa toilet dilarang dibunyikan di sekolah. Ketika kali pertama masuk sekolah, para murid menerima pidato perdana dari bapak atau ibu guru.

"Apa yang terjadi ketika kita membayar seseorang, supaya ia bersedia menjadi teman kita?" "Apa yang terjadi ketika orang tua kita memberi iming-iming hadiah bila bersedia belajar setiap hari dan berhasil naik kelas atau berhasil lulus dengan angka-angka memuaskan?"

Guru melawan krisis akal sehat di sekolah, dan Gubernur Basuki merespons krisis akal sehat. Apa itu krisis akal sehat? Krisis akal sehat terjadi ketika hidup yang baik dan pemikiran yang masuk akal tidak lagi menjadi ukuran.

Dampak ikutannya, kebutuhan akan uang akan menjadi tidak terbatas. Dan dampak logisnya, orang menjadi rakus atau loba.

Seorang guru tidak memberi uang bila muridnya belajar tekun siang malam kemudian memperoleh angka baik. Kebalikannya, bila sang guru mendapati muridnya bermalas-malasan dan memilih jalan pintas dengan menyontek, maka guru tidak segan meluapkan rasa kesal, kecewa, dan marah.

Gubernur Basuki layaknya seorang guru, meski ia kini berprofesi sebagai politisi. "Jujur saja, saya jadi politisi di tengah kemarahan, kemarahan melihat oknum pejabat yang korup, tapi santun luar biasa, tapi rakyat begitu miskin. Makanya saya marah. Itu kemuakan hati saya saja," katanya.

Krisis akal sehat berkawan karib dengan korupsi. Orang-orang yang memiliki kelimpahan uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan lebih banyak dan lebih kelimpahan segala fasilitas. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki lebih sedikit uang akan mendapatkan fasilitas yang minim, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan.

Apakah bahasa toilet dapat mempengaruhi dan menyetir anak-anak dan generasi muda? Tidak jarang, orangtua memarahi dan mendamprat anak ketika mereka menutup laci dengan hentakan keras.

Hanya saja, apakah orangtua juga pernah menunjukkan kepada anak mengenai cara bagaimana menutup laci. Tidak jarang pula, orangtua memarahi anak-anak muda karena pulang terlalu larut malam, sementara orangtua pulang larut malam dengan membawa setumpuk pekerjaan ke rumah?

Menghadapi dan merespons bahasa toilet, biarkan anak-anak dan generasi muda mengamati dan menilai sendiri. Biarkan mereka mengetahui bahwa segala sesuatunya yang dikatakan dan dikerjakan perlu diatur dan dipandu dengan menggunakan akal sehat.

Bukankah anak-anak suka menirukan orang dewasa dan menganggap bahwa merangkai bunga, menata tempat tidur, dan membersihkan rumah merupakan aktivitas yang menyenangkan dan menggembirakan.

Biarkan mereka berkembang dengan pengamatan dan perilaku yang bertanggungjawab, bukan karena mengharapkan hadiah, bukan pula dengan mendengar perkataan yang berulang-ulang "jangan buat ini, jangan buat itu."

Bahasa njlimetnya, kebenaran bukan semata-mata berkaitan langsung dengan kenyataan. Misalnya, mengatakan ini kuda, maka faktanya ada kuda, maka pernyataan itu bernilai benar.

Kebenaran juga menunjuk kepada tersingkapnya kemungkinan-kemungkinan baru untuk menjalani dan melakoni hidup dan bertindak. Caranya, perbanyaklah bermain layaknya anak-anak. Gelarlah pertemuan secara berkala dengan duduk bareng dialog bersama.

Gelarlah "coffee morning" antara Gubernur Basuki dengan kalangan DPRD DKI dengan mengikutsertakan warga masyarakat mengenai salah topik-topik seksi, misalnya kemacetan, banjir, dan kenaikan harga.

Dengan meminjam pendapat istilah filosof Rorty, cermin besar dari pemahaman bukanlah pertama-tama tindakan reproduktif, melainkan merujuk kepada tindakan produktif. Implikasinya, apa yang memang sudah dilakukan dan dibuat Basuki saat menjabat sebagai gubernur Jakarta?

Sorotilah dan evaluasilah apa yang telah Gubernur Ahok buat dan lakukan, terlebih masih ada dua tahun tersisa. Pemprov DKI punya target menuntaskan persoalan macet dan pembangunan lain jelang pelaksanaan Asian Games di tahun 2018.

Soal bahasa toilet lebih menyentuh soal memahami sesuatu, yang berarti memahami sebuah teks secara berbeda. Memahami berarti menafsirkannya.

Seperti halnya dalam penafsiran teks, makna teks teks terdapat dalam penerapan teks secara kreatif oleh para pembacanya. Pembacaan teks perlu dimengerti dalam model dialog, antara "saya" dan "engkau" agar menjadi "kita".

Bahasa toilet adalah sebuah teks yang dapat dipahami dan dapat ditafsirkan layaknya skema pertandingan sepak bola. Pepatah agung menyatakan, orang tak boleh membunuh segala kebaruan atas nama kenyamanan.

Kata orang "ignorance is bliss", ketidaktahuan itu membahagiakan. Mereka yang tidak tahu biasanya bersikap tenang-tenang saja, meski pada akhirnya bahasa-bahasa revolusioner bakal melindas dan mengganyang mereka.

Ketika mendengar dan mencamkan bahasa toilet, pepatah Latin klasik menyatakan, pengetahuan adalah mengingat; pengetahuan kita hanya diperoleh dengan mengingat (Scire nostrum reminisci).
(T.A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015