Jakarta (ANTARA News) - Akal dan nafsu tidak akan pernah bisa dipisahkan dari manusia sehingga kedua hal itu menjadi modal utama untuk mengakali nikah siri yang kini merambah di dunia maya dengan kekhasannya sendiri.
Nikah siri bukanlah sebuah fenomena baru. Namun, pernikahan di bawah tangan itu kini seperti menjamah di internet.
Polemik bertebaran mengenai keabsahan nikah siri "online" yang memiliki beberapa pengertian.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Machasin mengatakan bahwa nikah siri "online" mengandung dua pengertian.
Pertama, nikah siri dalam jaringan (daring) itu dipromosikan lewat media "online" dan pelaksanaannya dilakukan secara "offline" layaknya nikah siri biasa tanpa legalitas dari negara. Dengan kata lain, media "online" hanya menjadi media komunikasi untuk mempertemukan penghulu, pasangan, wali nikah, dan saksi nikah dalam satu majelis.
Pengertian kedua, terdapat perpaduan promosi maupun pelaksanaan nikah siri dilakukan secara "online" tanpa harus dalam satu majelis atau bisa dilakukan jarak jauh.
Prostitusi Terselubung
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Asrorun Niam Sholeh mengatakan bahwa situs penyedia nikah siri daring itu cenderung memiliki tujuan ekonomi dengan modus memudahkan mempelai untuk menikah.
Menurut dia, penyedia situs nikah siri itu mencari celah untuk meraup untung dengan menawarkan berbagai kemudahannya.
"Fenomena ini seperti praktik prostitusi berkedok pernikahan lewat jasa yang ditawarkan. Penyedia situs hendak memberi jasa, ini lo saya punya penghulu, wali, dan saksi sehingga mempelai bisa menikah. Padahal, di dalam Islam itu saksi dan wali itu ada syaratnya yang belum tentu bisa dipenuhi oleh penyedia layanan nikah siri online itu," katanya.
Majelis Ulama Indonesia sendiri meminta masyarakat untuk tetap menjaga kesakralan lembaga pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah.
"Jangan dikurangi maknanya pernikahan hanya untuk kepentingan pelampiasan seksual saja, tetapi ada tujuan mulia pernikahan menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah," katanya.
Asrorun sendiri ragu terhadap kualitas penyelenggaraan nikah siri "online" karena pelaksanaannya tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Dia juga menduga sejumlah wali nikah dan penghulu nikah bawah tangan daring tidak berkompeten dalam menyelenggarakan pernikahan. Alasannya, ustaz yang baik tentunya tahu jika yang dilakukannya tidak benar. Apabila dia tetap menikahkan secara "online", berarti kapasitas keagamaannya diragukan.
Sejauh ini, MUI belum mengeluarkan fatwa terkait dengan nikah siri "online". Akan tetapi, terkait dengan nikah siri konvensional sudah diterbitkan.
Asrorun melihat fenomena "online" itu memiliki kemiripan dengan nikah siri biasa, yang berujung pada tidak adanya pencatatan negara. Dengan begitu, pernikahan tidak mendapatkan pengakuan negara dan tidak memperoleh hak-hak keperdataan.
Nikah siri konvensional sejatinya tidak bermasalah jika dipandang dari sisi agama. Akan tetapi, karena tidak ada pencatatan negara, kepastian hukum dari negara tentu nihil.
Selain itu, pernikahan tidak masuk dalam administrasi negara sehingga nantinya jika ada sengketa hak waris, negara tidak dapat mengintervensi. Kemudian, anak dari nikah siri akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Dengan begitu, anak sulit mendapatkan berbagai fasilitas dari negara, seperti untuk kesehatan dan sekolah.
Tidak Sah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimah (Salimah) Siti Faizah menegaskan bahwa nikah siri "online"--yang prosesnya dilakukan dengan jarak jauh atau tidak satu majelis--tidak sah.
"Sunnah dari Nabi Muhammad disebutkan bahwa menikah itu harus ada mempelai, penghulu, dan wali dari mempelai perempuan, sementara penghulunya tidak bisa sekaligus menjadi wali mempelai perempuan," kata Faizah.
Nikah siri daring itu tidak sah secara proses merujuk pada ketentuan agama. Maka, pernikahan jenis itu tidak sah.
Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Prasetyani Heryawan, sering kali kaum perempuan dan anak adalah pihak yang menjadi korban utama dari praktik nikah siri konvensional dan nikah siri "online".
Kedua jenis nikah siri rentan bagi perempuan dan anak. Misalnya, saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus KDRT, akan sulit membuktikan posisi ayah, ibu, dan anak jika tidak ada bukti autentik.
Contoh lainnya, ketika pasangan yang melakukan nikah siri, kemudian memiliki keturunan maka anak sering kali tidak mendapatkan hak dasarnya karena tidak tercatat dalam administrasi negara.
"Padahal, konteks pembangunan peradaban yang namanya anak-anak yang terlahir dari pernikahan itu harus mendapatkan perlindungan dari berbagai undang-undang," katanya.
Hal senada disampaikan oleh Dirjen Bimas Kemenag Machasin. Dia mengatakan bahwa nikah siri "online" akan menyuburkan pernikahan di bawah tangan. Artinya, makin banyak pernikahan yang tidak tercatat oleh negara dan membuat perempuan dan anak rentan.
Perempuan, kata Machasin, sering menjadi pihak yang lemah secara budaya dan ekonomi. Lewat celah tersebut sering dimanfaatkan oleh kaum adam untuk melakukan nikah secara sembunyi-sembunyi, terutama mereka yang memiliki uang, kekuasaan, dan tentu saja kesempatan.
Terdapat juga kecenderungan dari laki-laki yang sengaja merahasiakan perkawinannya agar aman dari berbagai persoalan. Misalnya, menghindari sanksi sosial karena menikah lagi atau mereka yang sembunyi-sembunyi nikah agar tidak diberi sanksi jika diketahui pihak atasan tempatnya bekerja.
Maka dari itu, Machasin meminta masyarakat agar tidak terpancing menggunakan jasa nikah siri dalam jaringan karena itu sama saja dengan merendahkan kaum perempuan.
Muchtar Ali, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, mengatakan bahwa pihaknya telah melaporkan layanan "online" nikah siri ke polisi. Terkait dengan penanggulangan lebih lanjut, dia menyerahkan hal itu kepada polisi.
Kemenag, kata Muchtar, juga sudah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika agar menutup situs nikah siri "online".
Masyarakat sejatinya direpotkan oleh nikah siri, termasuk biayanya sekitar Rp2,5 juta. Kantor Urusan Agama (KUA) sendiri, kata Muchtar, telah menyediakan kemudahan layanan nikah resmi tanpa dipungut biaya jika dilakukan di KUA. Namun, jika diadakan di luar KUA, dikenai biaya Rp600 ribu.
"Buat apa bayar lebih mahal kalau itu tidak resmi," kata Muchtar.
Kehadiran Negara
Sektretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun menilai kehadiran negara menjadi penting dalam pencegahan maraknya situs nikah siri.
"Terhadap mereka yang berupaya menyembunyikan pernikahannya maka peran negara dibutuhkan untuk menyibaknya. Ini bukan sekadar penghalalan seksual saja, melainkan ada tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan juga jangka panjang, bukan untuk sementara layaknya kawin kontrak. Karena kalau tujuannya hanya sementara, itu hukumnya haram," kata dia.
Asrorun meminta pemerintah bergerak aktif dalam memerangi situs nikah siri "online" itu. Dengan begitu, mampu mencegah terjadinya pernikahan bawah tangan dan memberikan hak keperdataan, kepastian hukum, dan pemenuhan hak sipil sebagai warga negara.
Negara, kata dia, juga harus menjamin kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses fasilitas Kantor Urusan Agama. Dalam beberapa kasus, masyarakat memilih nikah siri karena kendala birokrasi atau faktor lainnya.
"Motivasi nikah siri itu tidak semua karena persoalan akses administrasi. Kadang di daerah mereka terkendala menuju KUA yang butuh waktu satu hari satu malam. Sulit bagi mereka," katanya.
Oleh anom prihantoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015