Semangka dan sawi yang kemarin ditanam Marsiti tidak berhasil tumbuh dengan baik. Buah semangka tidak mau membesar, bahkan sawi yang ditanamnya pun mati.
Akan tetapi, terong, bayam, kangkung, labu putih, cabai, jahe, kunyit, kencur, nanas, kacang panjang yang juga dia tanam di satu area berhasil tumbuh dan sudah dapat dinikmati hasilnya.
Hal itu tampaknya yang menjadi alasan mengapa bukan sayur pakis khas Kalimantan yang tersaji saat sejumlah wartawan bersama rekan-rekan dari The Nature Conservancy (TNC) makan malam di rumah Kepala Forum Kampung Hulu Kelay Janes Daring, melainkan tumis kangkung yang diambil dari kebun sekitar rumah.
Marsiti dan ibu-ibu lain di Long Duhung kini tidak perlu lagi harus selalu masuk ke dalam hutan mencari pakis atau rotan muda terlebih dahulu jika ingin memasak sayur untuk keluarga. Mereka kini tinggal memetik atau mengambilnya dari kebun yang mereka kembangkan sendiri di sekitar kampung.
Urusan kecukupan sayur-mayur di salah satu kampung yang terletak di hulu Sungai Kelay, Kalimantan Timur, ini kini memang menjadi penting bagi Marsiti, mengingat dirinya kini menjabat sebagai Ketua Kelompok Sayur Long Duhung untuk program Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan dalam REDD+ atau SIGAP-REDD+ yang sedang dijalankan TNC di Kabupaten Berau.
Itu pula yang membuat dia tidak ragu, bahkan berulang-ulang menyampaikan agar mereka terus dibimbing untuk dapat berkebun dengan lebih baik.
Lain lagi dengan Farida. Dia bertanggung jawab atas bibit ayam yang diberikan TNC. Satu kepala keluarga di kampung itu mendapat jatah 10 ekor ayam, dan itu yang harus bisa mereka ternakan dan harapannya dapat menjadi sumber protein lain bagi keluarga di kampung pada masa depan.
"Tantangannya karena (kelompok) kami perempuan semua jadi susah untuk membuat kandang ayam. Kami pikir tidak bisa gesek (menyerut kayu) untuk membuat kandang, susah memang, tetapi harus bisa dan ternyata bisa," ujar Farida saat berdialog dengan sejumlah wartawan, staf dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Berau, dan tim TNC.
Sementara itu, Lihjun yang bertanggung jawab atas keuangan kampung untuk program tersebut justru "melaporkan" anggaran yang belum terserap karena warga kampung yang merupakan Suku Dayak Mapnan tersebut masih sibuk mencari emas di sungai dan gaharu di hutan pada bulan Januari hingga Maret.
"Jadi, uangnya belum digarap (digunakan, red.). Akan tetapi, jangan lepas kami karena kami butuh bimbingan, apalagi untuk administrasi," ujar Lihjun.
Hutan Kehidupan
Dialog dilanjutkan, kali ini Kepala Adat Long Duhung Samion Eng yang berbicara. Dia bertutur tentang Wungun, hutan adat yang mereka lestarikan dan dipersiapkan untuk warisan anak cucu yang sayangnya kini berada di dalam kawasan hak pengelolaan hutan (HPH) sebuah perusahaan.
Pria yang akrab disapa Pak Adat ini juga menjelaskan bagaimana warga Long Duhung begitu bergantung pada hutannya. "Tidak bisa ditinggalkan, sudah mendarah daging. Kami berburu di situ, mencari makan dengan berburu di situ," katanya.
Sama halnya dengan masyarakat adat lain di Indonesia, hutan yang disebut sebagai tanah adat juga terdapat pekuburan dan peninggalan nenek moyang mereka. Secara turun-temurun mereka mencari makanan di hutan tersebut, termasuk mencari sagu sebagai makanan pokok dan babi hutan yang menurut Pak Adat tidak dapat mereka tinggalkan.
"Setelah ada HPH, kami susah bikin kapal (ketinting, red.) dan sulit berburu babi. Ada juga tanaman yang biasa untuk meramu mulai susah didapat, termasuk babi, rusa, dan landak, juga makin sulit ditemukan," ujar dia.
Sebelumnya, saat sedang menunggu Pak Philipus mengambil Lahong (buah sejenis durian berkulit merah) di hutan, Matias, warga Long Duhung lainnya, bercerita bagaimana mudahnya dahulu mendapatkan babi hutan. Hanya dengan mengeluarkan suara seperti monyet dan memperhatikan arah angin babi-babi hutan akan berdatangan, bahkan berani mendekat hingga jarak 5 meter.
Pada musim buah tertentu, babi hutan dan hewan lain akan keluar berkumpulan di bawah pohon untuk memakan buah yang berjatuhan di atas tanah. Saat itu pula, menurut dia, warga Long Duhung pergi ke hutan untuk berburu.
Lihjun pun bercerita bagaimana warga kampung selalu bersukacita menyambut datangnya musim buah. Saat semua buah di hutan matang dan ranum untuk dipetik, saat itu pula Long Duhung hampir tidak berpenghuni, seluruh anggota masing-masing keluarga ikut serta masuk ke dalam hutan, bahkan anak-anak pun terkadang tidak bersekolah demi ikut memetik sendiri buah yang ingin mereka nikmati.
Mereka, menurut Lihjun, akan bermingu-minggu berada di dalam hutan untuk memetik buah-buahan. Mereka akan mendirikan tenda sederhana atau pondok kecil untuk seluruh anggota keluarga berteduh dari hujan dan beristirahat pada malam hari.
Oleh arena itu, nada bicara Lihjun terdengar seperti keberatan jika aktivitas "berpiknik" untuk menikmati berbagai jenis buah di dalam hutan setahun sekali itu harus terganggu oleh kegiatan rutin, seperti merawat hewan ternak atau berkebun yang kini perlahan diperkenalkan TNC kepada mereka.
Menciptakan Mimpi
Berburu dan meramu, itu yang masih dilakukan warga Long Duhung. "Bukan pekerjaan mudah memperkenalkan mereka dengan kegiatan lain," kata Senior Manager Program Berau TNC Program Indonesia Saipul Rahman.
Menurut dia, harus ada yang memulainya, memberikan mereka harapan dan kesempatan baru melalui perubahan positif dan inspiratif karena bagaimana pun mereka juga berhak untuk hidup maju dan lebih baik.
Direktur Program Terestrial TNC Indonesia Herlina Hartanto mengatakan bahwa pendekatan yang memberdayakan masyarakat kampung dengan SIGAP-REDD+, mencoba menggali, menemukenali, dan menghargai kekuatan yang sedianya telah dimiliki warga untuk mendorong perubahan positif dan inspiratif tersebut.
Tahapan-tahapan yang disodorkan yakni Disclosure-Define-Discovery-Dream-Design-Delivery-Drive (7D) bertumpu pada aksi kolektif warga untuk menemukan kekuatan, impian, dan solusi kreatif dalam menghadapi tantangan, menguatkan eksistensi diri mereka sebagai komunitas desa yang hidup berdampingan dengan hutan.
Dengan menjalankan tahapan-tahapan tersebut warga akan mengenal dan memahami kelebihan dan kekurangan wilayah, sumber daya manusia, dan sumber daya alamnya. Mereka diharapkan akan mampu melakukan perencanaan dan pengelolaan yang baik sebagai alat untuk mencapai impian yang telah mereka tetapkan sendiri dalam jangka waktu tertentu.
Mereka membuat sendiri rencana pembangunan jangka menengah kampung (RPJMK) dengan tidak lupa menyertakan kaidah-kaidah perlindungan dan konservasi dalam pembangunan kampung yang berkelanjutan.
Kerja sama dan kesepakatan dengan pihak ketiga, dalam hal ini TNC, menurut Community Development Specialist untuk kawasan Segah TNC Program Indonesia Indah Astuti, membuat warga Long Duhung setuju bahwa setiap kepala keluarga hanya menggunakan tujuh lahan secara bergilir untuk menanam padi ladang.
"Mereka sepakat tidak membuka hutan lagi untuk menanam padi ladang, tetapi menggunakan tujuh lahan secara bergantian setiap tahunnya. Dengan demikian, pada tahun ke delapan satu kepala keluarga akan kembali menanam padi di lahan pertama yang digunakan tujuh tahun sebelumnya. Saat itu pasti lahan bekas menanam padi sudah akan tertutup pohon," ujar Indah yang lebih akrab disapa Tutut tersebut.
Mereka, menurut Tutut, juga sepakat menanam karet, yang selain sebagai sumber pendapatan bagi warga pada masa depan juga menjadi bentuk upaya pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. TNC sudah menyalurkan ribuan bibit karet untuk kampung-kampung yang menjalankan SIGAP-REDD+ di Berau, Kalimantan Timur.
Ada perbedaan memang di Long Duhung, warganya begitu peduli akan hutan, sehingga tidak ada kekhawatiran berlebih bahwa pembalakan terjadi untuk kepentingan ekonomi. "Mereka hanya menebang pohon seadanya untuk memperbaiki rumah. Mereka tidak menebang untuk dijual," kata Tutut.
Program lain yang berkaitan dengan REDD+ yang dimasukkan dalam RPJMK, menurut dia, kegiatan patroli hutan yang dilakukan warga kampung. Kegiatan ini mencegah munculnya pembalakan liar yang dapat merusak hutan.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHK) Model Berau Barat Hamzah mengatakan, "Meski perubahan di kampung berpenghuni 37 kepala keluarga dan sekitar 140 jiwa yang telah mendapat pendampingan dari berbagai pihak sejak 2000 terasa begitu lambat, kerja pendampingan kepada mereka tidak boleh berhenti, terlebih jika kegiatan tersebut berhubungan dengan upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan."
Warga Long Duhung yang dahulu hanya mengenal berburu dan meramu, kini sudah mulai memiliki impian. "Mereka sudah dapat menyebutkan apa yang akan menjadi impian mereka 20 tahun mendatang. Untuk mencapainya, mereka paham pentingnya perencanaan," kata Community Development Specialist untuk kawasan Kelay TNC Program Indonesia Siswandi.
Long Duhung menjadi salah satu kampung model yang dikembangkan TNC di Berau dalam waktu satu tahun terakhir. Kampung di hulu Sungai Kelay ini, menurut Wandi, baru saja melewati tahapan Drive dengan ditandai sebuah perayaan.
Model kampung yang dinilai sukses menjalankan program SIGAP-REDD+ ini rencananya akan direplikasikan ke 12 kampung di Berau. Bahkan, menurut Saipul, TNC menargetkan 6.000 kampung atau desa di seluruh Indonesia akan menerapkan program SIGAP-REDD+ hingga 2020 nanti. Dengan demikian, tidak hanya Long Duhung yang akan memiliki mimpi, tetapi warga dari 6.000 kampung atau desa di Indonesia juga akan memiliki mimpi, dan mimpi positif tersebut akan terus menular hingga ke pelosok desa atau kampung di seluruh Indonesia.
Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015