"Dugaan sementara, fenomena tingginya gugat cerai ini disebabkan tulang punggung keluarga telah beralih dari suami ke pihak istri," kata Khofifah di Purbalingga, Minggu.
Menurut dia, ketertarikannya untuk mengkaji masalah tersebut muncul sejak masih menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada masa Kabinet Persatuan Nasional.
Bahkan, kata dia, kasus perceraian di tiga kabupaten itu cukup menarik karena inisiatif gugat cerai justru datang dari pihak istri.
"Saya juga sedang menulis buku tentang pengarusutamaan gender dikaitkan dengan upaya mempertahankan keharmonisan keluarga," katanya.
Menurut dia, dalam buku itu ditegaskan bahwa anak-anak paling merasakan dampak buruk perceraian.
"Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis, selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar, akan mengalami trauma berkepanjangan, baik disadari atau tidak disadarinya," kata Khofifah.
Berdasarkan catatan Kantor Kementerian Agama Purbalingga, saat ini angka perceraian di kabupaten itu sudah hampir menyentuh 20 persen dari jumlah pernikahan dengan mayoritas gugat cerai diajukan oleh istri.
Sementara jumlah pernikahan di Purbalingga berada pada kisaran 10.000 sampai 11.000 per tahun.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015