Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi PAN DPR Zulkifli Hasan, Rabu, menegaskan bahwa pemerintah harus berani melakukan negosiasi ulang atas Kontrak Karya (KK) dengan PT Freeport yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.Menurut Zulkifli Hasan di Gedung DPR/MPR Jakarta, perjanjian kontrak karya Freeport 1967 yang kemudian direvisi pada 1991 hanya berisi perjanjian penambangan tembaga dan tidak termasuk penambangan emas dan perak seperti yang dilakukan Freeport sekarang. Menurutnya, hingga akhir 2006 ini PAN belum melihat adanya perubahan sikap dan kemauan signifikan pemerintah terkait kontrak karya pertambangan dengan perusahaan swasta asing itu. Pemerintah terkesan hanya bereaksi ketika persoalan tersebut menjadi isu publik, namun ketika isu mereda, tidak ada langkah nyata yang dijalankan untuk memecahkan masalah. KK pertambangan PT Freeport ditandatangani pada 1967 (KK 67) dan diperbarui pada Desember 1991. Pada KK 67 hanya tembaga yang disetujui untuk ditambang PT Freeport. Kenyataannya, emas dan perak juga ditambang dari bumi Papua. Kandungan emas yang luas biasa besar di Gunung Grassberg mendorong PT Freeport meminta perpanjangan kontak 12 tahun sebelum KK 67 selesai. Perpanjangan KK 91 ini berlaku untuk 30 tahun dan dapat diperpanjang 2x10 tahun. "Kontrak tersebut tentu sangat merugikan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia juga tidak memiliki akses untuk mengontrol kualitas dan kuantitas kekayaan alam yang dieksplorasi PT Freeport di Papua," kata Zulkifli. Fraksi PAN DPR juga menyoroti dampak terhadap lingkungan hidup. Limbah pertambangan yang dikenal sebagai "tailing" dibuang melewati tiga sungai yaitu Aghawagon, Otomona dan Aijkwa. Hamparan "tailing" itu mencapai 230 km2 dengan kandungan zat pelarut mencapai 300 mg/liter, jauh di atas baku mutu yang diatur pemerintah sebesar 50 mg/iter. Akibatnya, kata Zulkifli, tiga fungsi sungai (sosial, ekonomi dan ekologi) hilang. Keberadaan PT Freeport juga belum memberi dampak berarti bagi peningkatan kualitas hidup warga Papua di sekitarnya. Hal itu secara kasat mata bisa terlihat dari kasus kelaparan di Yahukimo yang masih terhitung kawasan eksplorasi Freeport. Karena itu, Fraksi PAN DPR menyerukan agar dilakukan dua hal. Pertama, audit total kegiatan Freeport Indoensia yang mencakup audit produksi, lingkungan dan sosial. Audit produksi harus mencakup besaran kuantitas dan kualitas konsentrat yang dieksploitasi. Bila ditemukan selisih antara hasil audit dan laporan selama ini, Freeport harus membayar kerugian negara selama ini. Kedua, pemerinah Indonesia harus berani melakukan renegosiasi dengan PT Freeport. Renegosiasi mencakup, bagi hasil yang lebih adil dan transparan, menuntut divestasi saham PT Freeport dan masuknya BUMN dala kepemilikan sahamnya. Selain itu, Freeport harus menghentikan kerusakan lingkungan dan melakukan rehabilitasi atas kerusakan yang telah terjadi serta melaksanakan program `community development` secara memadai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua. "Rekomendasi tersebut juga sudah disuarakan berbagai kalangan yang menaruh keprihatinan atas ketidakadilan tersebut. Namun hingga saat itu Fraksi PAN DPR menilai belum ada langkah berarti pemerintah untuk merealisasikannya," kata Zulkifli.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006