Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengkritisi salah satu kebijakan yang disusun pemeintah untuk menekan defisit transaksi berjalan mengenai pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebanyak 15 persen untuk solar.
Satya dalam diskusi di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, menilai kebijakan tersebut tidak relevan di tengah penurunan harga minyak dunia.
"Ini (kebijakan) tidak akan pernah ekonomis kalau harga minyak dunia di bawah 60 dolar AS per barel. Kalau harganya sudah sampai 100 dolar AS per barel, baru bisa hidup," katanya.
Satya menjelaskan, bahan bakar nabati di Indonesia masih perlu dikembangkan dengan pertimbangan ekonomi.
Karena baru dikembangkan, menurut dia, dari sisi anggaran tidak akan ekonomis karena masih perlu terus dibangun agar bisa kompetitif.
Dengan alasan itu, politisi Partai Golkar menilai tidak perlu mengembangkan energi terbarukan jika memang lebih mahal dari energi fosil yang sudah ada saat ini.
"Kalau memikirkan aspek ekonomi, tidak logis memberi subsidi BBN tinggi, kan duit kita terbatas, subsidi akan lebih besar. Kalau kita tidak bisa mengembangkan renewable energy, bunuh saja, tidak usah subsidi," katanya.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan baru yang masuk dalam tahapan awal paket kebijakan reformasi struktural perekonomian.
Pertama, yaitu insentif pajak yang terdiri atas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) atau "tax allowance" bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi serta insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri galangan kapal.
Kedua, yakni kebijakan bea masuk untuk mengurangi impor dan melindungi industri dalam negeri. Bea masuk itu yaitu Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan Sementara (BMTPS).
Ketiga, yakni pembebasan visa bagi wisatawan asing dari 30 negara setelah sebelumnya membebaskan visa bagi 15 negara.
Keempat, yaitu kewajiban pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebanyak 15 persen untuk solar.
Kelima, adalah kewajiban menggunakan "letter of credit" untuk ekspor produk-produk sumber daya alam seperti batu bara, migas, atau minyak sawit mentah (CPO) dengan pengecualian bagi kontrak-kontrak jangka panjang.
Dan, keenam yakni pembentukan perusahaan reasuransi domestik.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015