"Pelemahan rupiah ini merupakan momentum kita untuk meningkatkan ekspor," kata Rachmat pada jumpa pers di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Selasa.
Rachmat mengatakan pihaknya tengah berusaha untuk memanfaatkan kondisi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut dengan memberikan insentif yang beberapa waktu lalu telah dibahas di Kementerian Koordinator Perekonomian.
"Pemerintah berusaha bagaimana memanfaatkan hal ini dengan memberikan insentif, inilah yang sudah dibahas di Menko," kata Rachmat.
Rachmat menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut Indonesia berusaha untuk meningkatkan ekspor, salah satunya dengan diberikannya insentif. Namun untuk jangka panjang, harus ada pemetaan dimana saja yang menjadi hambatan dan menyebabkan biaya produksi tinggi.
"Jadi kita lakukan bukan hanya karena rupiah melemah, tapi memang harus kita manfaatkan. Namun secara jangka panjang, ekspor yang harus kita bangun adalah kita mempelajari dari awal bahan baku sampai menjadi barang akhir dan diekspor. Dimana yang memakan biaya tinggi," ujar Rachmat.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Tjahya Widayanti, mengatakan bahwa paket kebijakan yang dibahas di Kementerian Koordinator Perekonomian bukan dalam rangka pengendalian defisit transaksi berjalan, akan tetapi lebih kepada reformasi struktural ekonomi Indonesia.
"Kemarin sudah dibahas apa-apa saja kebijakan yang akan dikeluarkan dalam rangka pelemahan rupiah. Tapi paket kebijakannya itu bukan dalam rangka untuk pengendalian current account deficit, tapi reformasi struktural reformasi Indonesia, yang salah satunya adalah, fasilitas yang diberikan untuk wajib pajak untuk investasi yang tinggi dan ekspor," ujar Tjahya.
Tjahya mengatakan, saat ini paket kebijakan tersebut masih berupa rancangan Peraturan Presiden yang nantinya akan dilakukan pendalaman lebih lanjut.
Pemerintah segera menerbitkan empat aturan baru yang masuk dalam tahapan awal paket kebijakan reformasi struktural perekonomian, diantaranya terkait dengan empat revisi aturan atau aturan baru yang segera diumumkan oleh Presiden antara lain terkait insentif pajak, pembebasan visa, penggunaan biofuel, bea masuk antidumping, serta BUMN reasuransi.
Sementara berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 2,95 persen terhadap dolar Amerika Serikat selama Februari 2015, dimana rata-rata kurs tengah eceran rupiah terhadap dolar AS di 34 provinsi yang tertinggi terjadi di pekan keempat Februari 2015 sebesar Rp12.842 per dolar AS.
"Rupiah terdepresiasi 2,95 persen terhadap dolar AS di Februari 2015, dengan rata-rata kurs tengah eceran rupiah terhadap dolar AS di 34 provinsi, tertinggi terjadi pada minggu keempat Februari 2015 yaitu Rp12.842,81 per dolar AS," kata Kepala BPS, Suryamin, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (16/3).
Sementara berdasarkan provinsi, kurs tengah tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar Rp12.935,00 per dolar AS pada minggu keempat.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015