Kondisi anak-anak muda Muslim Eropa tak kalah problematik
Brussels (ANTARA News) - Masyarakat Muslim Eropa, khususnya Belgia tertarik mempelajari Islam Indonesia yang dikenal moderat, santun, modern namun tetap menghargai perbedaan dan kemajemukan, kata Julie Pascoet dari perwakilan European Network Against Racism (ENAR) saat bertemu dengan Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin di Kedutaan Besar Republik Indonesia Brussels, Kamis (12/03).
Pascoet yang ditemani Laurie Hastir dari Collective Against Islamophobia in Belgium (CAIB) menjelaskan banyak hal mengapa Muslim Eropa merindukan model penerapan Islam seperti di Indonesia. Menurut Pascoet, Muslim Eropa masih mengalami diskriminasi dan rasisme dalam banyak aspek.
“Kontra rasisme dan radikalisme serta diskriminasi masih menjadi isu besar dalam Muslim Eropa,” kata wanita berjilbab keturunan Maroko itu sebagaimana dikutip laman kemenag.go.id, Minggu.
Pascoet, aktivis perempuan yang pernah datang ke UIN Yogyakarta untuk menjelaskan problem masyarakat Muslim Eropa itu membenarkan bahwa citizenship of Moslem masih menjadi kendala bagi banyak warga negara muslim di Belgia. Kalangan muslim Belgia umumnya imigran dari Maroko, Turki, dan negara-negara Islam lain.
“Kondisi anak-anak muda Muslim Eropa tak kalah problematik,” kata Laurie Hastir menimpali pernyataan Pascoet. Hastir yang sehari-hari bergelut dengan persoalan islamopohobia melalui Collective Against Islamophobia in Belgium (CAIB) bercerita panjang lebar mengenai nasib keluarga muslim Eropa yang terasing dari komunitasnya di mana dia tinggal dan orang tuanya hidup.
“Di tengah-tengah saudara seagamanya di Eropa, banyak keluarga muslim Eropa terdiskriminasi baik dari sisi pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pergaulan sosial, maupun akses terhadap kebijakan pemerintah. Itu karena islamophobia di kalangan masyarakat Eropa masih kuat,” tuturnya. Untuk itu, Hastir mengaku ingin belajar bagaimana kaum muslim Indonesia menangani persoalan-persoalan masyarakatnya yang dianggap sangat berhasil itu. Salah satu isu yang menarik baginya adalah pendidikan Islam Indonesia.
Menanggapi keinginan tersebut, Dirjen Pendidikan Islam menyambut antusias dan menyatakan siap membantu muslim Belgia dalam mengadvokasi warga Muslim agar terintegrasi dengan komunitas Eropa yang lebih luas. Kamaruddin menanyakan apakah anak-anak muda muslim Belgia mendapatkan pendidikan Islam yang memadai.
“Pendidikan, hemat saya menjadi fundamental issues bagi Muslim Eropa. Apakah mereka mendapatkan pengetahuan tentang Islam yang benar, Islam yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan seperti toleransi, persamaan hak, gender equality, kasih sayang terhadap sesama, demokratis dan sebagainya. Itu bisa dimulai dari pendidikan Islam yang baik,” tegas Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, tidak cukup kalangan muslim Eropa menyalahkan sistem yang ada, membenturkan kepentingan Muslim vis-a-vis Kristen, misalnya. “Kalangan muslim harus introspeksi diri juga, apakah selama ini mereka well at home dan mampu berintegrasi dengan masyarakat Eropa di mana sekarang mereka tinggal? Internal mereka sendiri banyak perbedaan akibat dari latar belakang dan asal negara,” tuturnya sembari menambahkan, “intinya introspeksi dan retrospeksi lah. Problem masyarakat Muslim Belgia harus dipandang sebagai masalah internal dan eksternal sekaligus.”
Kamaruddin secara tegas mengatakan bersedia membantu kesulitan yang dialami oleh masyarakat muslim Eropa, tentu sesuai kewenangannya dalam bidang pendidikan Islam. Di hadapan delegasi ENAR dan CIAB, Kamaruddin menyebutkan bahwa tindakan kongkrit Indonesia memperkenalkan Islam ke Belgia adalah membuka Program S2 Kajian Islam dan Studi Agama di Katholieke Universiteit Leuven (KUL).
“Dosen yang akan kita kirim ke KUL bukan hanya mengajar studi Islam, tetapi mereka akan kami beri tugas tambahan, yakni meneliti dan mempromosikan Islam Indonesia ke kalangan masyarakat Eropa, Muslim dan non Muslim. Kementerian Agama berkepentingan mempromosikan pendidikan Islam Indonesia dan menjadi kiblat pendidikan Islam bagi dunia,” tegasnya.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015