Sumsel bisa berharap banyak dengan pemerintahan Jokowi jika benar-benar ingin mengolkan Pelabuhan Tanjung Api-Api. Saya melihat ada beberapa kasus di daerah lain yang cukup mirip dengan persoalan Sumsel tapi kini sudah terselesaikan."

Palembang (ANTARA News) - Segurat keputusasaan dan serabut asa muncul seketika saat mendengar kata Pelabuhan Tanjung Api-Api. Mengapa? Karena sejatinya, Tanjung Api-Api itu tetaplah sebuah kawasan seluas seribu hektare yang tidak pernah ada pelabuhannya.

Konon, rencana bakal memiliki sebuah pelabuhan laut sudah ada sejak gubernur pertama Sumatera Selatan di era tahun 50-an, namun mulai mengemuka deras ketika masa gubernur Ramli Hasan Basri di era tahun 90-an. Namun, hingga gubernur ke-15, H Alex Noerdin, mega proyek ini tak kunjung terlaksana.

Padahal, semua memahami bahwa selagi Sumsel tidak memiliki pintu pedagangan sendiri ke pasar internasional maka daerah berpenduduk sekitar 8 juta jiwa yang notabene terkaya nomor lima di Indonesia ini tetap sebatas pengekspor bahan baku.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Selatan Permana mengatakan permasalahan perekonomian Sumsel dari dulu hingga sekarang, pada dasarnya tetap sama yakni karena tidak memiliki outlet sendiri.

"Lantaran tidak memiliki pelabuhan sendiri membuat investor enggan membangun industri hilirisasi di sini karena setelah dihitung-hitung akan rugi. Produk yang dihasilkan harus dibawah ke Pelabuhan Tarahan (Lampung) atau ke Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) seperti selama ini," kata mantan Kepala Badan Koodinasi Penanaman Modal Daerah ini.

Padahal, minat penanam modal asing, baik dari Asia, Eropa hingga Timur Tengah untuk berusaha di Sumsel terbilang tinggi karena memiliki sumber daya alam dan mineral bernilai tinggi.

Sejak lama, Sumsel menjadi penghasil komoditas karet dan sawit, sementara dari sisi mineral yakni menambang batu bara.

Menurut Permana, pemerintah daerah telah berupaya mengajak investor untuk menanamkan modal dengan membangun industri hilirasasi.

Investor asal Belarus sempat mengunjungi Palembang dengan didampingi Presiden Direktur Bluebird sebagai jaminan bahwa produk ban yang akan dihasilkan akan langsung diserap pasar dalam negeri.

Kemudian, investor asal Prancis dan beberapa negara Eropa yang mengutarakan niat yang sama.

"Jika melalui darat semisal melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta maka biaya logistik akan sangat mahal sekali, sementara Pelabuhan Boom Baru (Palembang) kapasitasnya sangat kecil," ujar dia.

Menurutnya, keadaan ini semakin diperparah karena perusahaan lokal yang telah berdiri di Sumsel pada era 80-an justru tidak lagi beroperasi lantaran mengalihankan bisnis ke sektor lain atau berpindah tempat produksi ke Jawa.

"Sebelumnya ada Intirub dan PT Krama Yudha Tiga Berlian, tapi kini sudah tidak terdengar lagi di Sumsel," kata dia.

Ia menambahkan, kondisi Sumsel yang tidak memiliki industri hilirisasi ini membuat daerah hanya menjadi penyedia barang baku.

Hampir 90 persen produk getah karet, minyak sawit, dan batu bara diekspor ke luar negeri atau tidak diserap di dalam negeri.

"Selagi tidak ada pelabuhan sendiri, maka tidak akan ada perubahan signifikan dalam perekonomian di Sumsel, tidak akan ada hilirisasi karet, hilirisasi sawit, apalagi hilirisasi batu bara menjadi batu bara cair," ujar dia.

Kondisi ini membuat perekonomian Sumsel sangat rentan dengan kegaduhan harga ekspor di pasaran internasional.

"Seperti saat ini, Sumsel sangat terimbas dengan penurunan harga komoditas ekspor karena terjadi pelemahan ekonomi di negara pengimpor yakni Tiongkok dan India. Kedua negara ini turut dihantam badai karena krisis ekonomi di Eropa," ujar dia.

Ketidakberdayaan Sumsel menyediakan industri hilirisasi ditenggarai menjadi penyebab utama mengapa sektor perkebunan karet tidak bisa menjamin kesejahteraan petani.

Sumsel yang menjadi salah satu provinsi penghasil getah terbanyak di Indonesia, selain Sumatera Utara, dan Jambi tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi penurunan permintaan dari luar negeri.

"Inilah karateristik berbeda Sumsel dengan daerah lain di Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi bisa di atas rata-rata nasional tapi jumlah penduduk nonsejahteranya tetap banyak," kata dia.


Berharap Jokowi

Menanggapi kondisi ini, pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sangat berpeluang merealisasikan Pelabuhan Tanjung Api-Api pada era pemerintahan Joko Widodo karena egoisme antarsektoral yang kerap menjadi penghalang mulai ditekan.

"Sumsel bisa berharap banyak dengan pemerintahan Jokowi jika benar-benar ingin mengolkan Pelabuhan Tanjung Api-Api. Saya melihat ada beberapa kasus di daerah lain yang cukup mirip dengan persoalan Sumsel tapi kini sudah terselesaikan," kata Hendri di Palembang, Jumat.

Seusai menjadi pembicara pada Seminar Harian Bisnis Indonesia bertajuk "Tantangan dan Peluang Usaha di Era Pemerintahan Baru", beberapa waktu lalu, ia mengatakan, Sumsel dapat merujuk proses pembangunan Jalan Tol Kualanamu Medan (jalan tol dari Kota Medan menuju Bandara Internasional Kualanamu hingga tembus ke Kota Tebing Tinggi) yang sempat terkendala pembebasan lahan.

Pada saat itu, terjadi persinggungan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Pemerintahan Provinsi Sumut serta Pemerintah Provinsi Sumbar.

"Kini saya melihat sudah ada titik tengahnya dan proyek tersebut sudah siap jalan tahun ini, artinya pemerintah sudah menemukan pola untuk menekan egoisme antarlembaga yang menjadi permasalahan pokok untuk proyek seperti Tanjung Api-Api," ujar dia.

Ia tidak menyangkal, kejadian di Medan tidak bisa langsung difotokopi oleh Sumsel karena konflik kepentingan yang terjadi di daerah penghasil karet, kelapa sawit, dan batu bara ini memiliki karakteristik sendiri.

Namun, kehadiran langsung Presiden RI Joko Widodo ke Kawasan Tanjung Api Api, Kabupaten Banyusin, pada awal Desember lalu sudah mengisyaratkan bahwa sudah ada kesatuan visi dari seluruh kementerian untuk menggolkan mega proyek tersebut.

Presiden menjanjikan siap menguncurkan dana hingga Rp500 miliar secara bertahap dalam tiga tahun ke depan.

Ini membuktikan, persoalan seperti terkait kawasan hutan lindung yang dipersoalkan Kementerian Kehutanan, atau jalur rel kereta api yang dipersoalkan Kementerian Perhubungan sudah menemukan titik temu, kata Peniliti Center Of Reform in Ekonomics ini, hingga pendanaan sendiri yang dipermasalahan pemerintah daerah.

"Memang persoalan ekonomi di Sumsel ini hanya karena tidak ada pelabuhan internasional, selagi infrastruktur ini belum ada maka ekonomi akan begini-begini saja atau sebatas menjadi daerah pengekspor barang mentah," kata lulusan doktor bidang ekonomi politik internasional Universitas Tsukuba, Jepang ini.

Kawasan Tanjung Api Api ini memiliki lahan seluas 1.000 hektare yang akan diperuntukan sebagai pelabuhan barang internasional dan Kawasan Ekonomi Khusus.

Pemerintah daerah memprediksi dibutuhkan dana hingga 104 triliun untuk merealisasikan pembagunan pelabuhan, jalan tol, mono rel, hingga kawasan industri.

Sementara ini, untuk KEK sudah melewati proses pembebasan lahan dengan target operasi pada akhir 2015.

Sebagian pihak dari kalangan pejabat pemerintah hingga legislator berpendapat bahwa perlu energi ekstra untuk menggolkan mega proyek ini.

Usaha luar biasa itu sempat ditempuh gubernur ke-13 Sumsel Syahrial Oesman untuk merealisasikan proyek ini, namun pada akhirnya dia tersangkut kasus pidana korupsi karena terbukti mengetahui pemberian uang suap kepada anggota DPR RI terkait proyek tersebut.

Kemudian Gubernur Sumsel H Alex Noerdin juga sempat roadshow ke sejumlah petinggi negeri asal Sumsel yang sempat menjabat beberapa waktu lalu yakni Marzuki Ali/Ketua DPR RI, Taufik Kemas (alm)/Ketua MPR RI, dan Hatta Rajasa/Menteri Koordinator Perekonomian untuk membantu merealisasikan proyek ini.

Beragam upaya sudah dilakukan, kini harapan tertumpu pada Presiden Joko Widodo yang secara nyata telah menginjakkan kaki ke kawasan Tanjung Api-Api.

Oleh Oleh: Dolly Rosana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015