Jakarta(ANTARA News) - Pascapencabutan pasal penghinaan Presiden oleh Mahkamah Konstitusi menurut anggota Dewan Pers Leo Batubara tidak akan banyak berpengaruh, karena masih ada cara lain untuk menindak mereka. "Masih ada 34 pasal KUHP yang dapat dikenakan kepada mereka yang menghina Presiden. Bahkan ancamannya lebih tinggi dibanding dengan pasal yang telah dicabut," kata Leo Batubara di Jakarta, Senin. Leo menyebutkan, sejumlah pasal yang dapat dikenakan kepada mereka yang menghina Presiden di antaranya pasal 153,154, 155, dan 156 KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara yang sering digunakan pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto. "Mereka yang mengkritik bisa saja dianggap melakukan permusuhan, pembencian, dan penghinaan dan diancam tujuh tahun penjara atau masih banyak pasal lain yang ancamannya lebih kecil seperti pasal 310 dan 311," katanya. Namun, Leo menegaskan, jika Indonesia menginginkan korupsi dapat diberantas, maka pemerintah harus mau dikritisi dan seperti yang berlaku di sejumlah negara berkembang, seperti di Togo, Afrika Tengah, dan Kroasia para pengkritik hanya diproses secara perdata. "Mereka yang menghina Presiden cukup diproses secara perdata, dengan denda maksimal Rp500 juta dan tidak ada penjara untuk mereka," katanya. Oleh karena itu, seperti halnya media massa atau pers yang ingin mengkritik Presiden atau pemerintahan, maka cukup dilakukan dengan hak jawab. Ia mencontohkan, jika ada buku-buku yang mengkritik Presiden, maka cukup diperlukan buku tandingan. Jika ada yang mencemarkan, tidak cukup dengan buku tandingan tersebut, maka dapat diproses secara perdata dengan pemberian denda. Leo Baturabara menegaskan, pencabutan sejumlah pasal KUHP merupakan langkah reformasi, karena pemberlakukan pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 tentang menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap yang tertuang dalam pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3. "Pers yang berperan sebagai kontrol dan pengawas demi kepentingan umum, justru lebih dinilai melakukan tindakan kriminal," katanya. Bahkan KUHP buatan tahun 1915 yang awalnya berisi 37 pasal, oleh pemerintah lewat departemen hukum dan hak menjadi 49 pasal yang lebih represif. Alasan Mahkamah Konstitusi sendiri mencabut pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP antara lain, pasal itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden. MK kemudian, memutuskan delik penghinaan terhadap Presiden dan atau wakil presiden diberlakukan pasal 310 sampai 312 KUHP apabila penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi, dan pasal 207 KUHP apabila penghinaan ditujukan selaku pejabat. (*)
Copyright © ANTARA 2006