Jakarta (ANTARA News) - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan peningkatan postur belanja pemerintah dalam APBN selama lima tahun terakhir seharusnya mampu mendorong pemerataan ekonomi, bukan meninggalkan tingkat ketimpangan ekonomi yang lebar.
Enny di Jakarta, Senin, mengatakan hal itu dikarenakan politik anggaran pemerintah selama ini, kurang dioptimalkan untuk mendorong sektor-sektor strategis, yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat seperti pertanian dan industri.
"Di era 90-an awal, yang kita andalkan adalah pertanian, tapi sekarang bertransformasi ke jasa dan perdagangan. Ini terlihat juga dari kurangnya stimulus untuk sektor pertanian," ujar dia.
Pemerintah, ujar Enny, perlu memperhatikan pelambatan pertumbuhan sektor pertanian yang pada kuartal IV-2014 yang turun menjadi 2,7 persen dari kuartal III-2014 yang sebesar 3,74 persen.
Kurang bertumbuhnya sektor pertanian, kata Enny, juga terlihat dari data alih fungsi lahan sawah yang dapat mencapai 100 ribu hektare per tahun.
Masalah tersebut, ujar dia, telah menjadi masalah struktural perekonomian yang akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas. Pertumbuhan yang tidak berkualitas itu pula yang menyebabkan masih tingginya tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan.
Oleh karena itu, Enny mengingatkan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan pembangunan sektor pertanian, dan pembangunan desa seoptimal mungkin, sebagai langkah dalam mencapai target-target kesejahteraan.
Pemerintah menetapkan target kesejahteraan pada 2015, antara lain diukur dari tingkat kemiskinan menjadi 10,3 persen dari total masyarakat Indonesia, dan tingkat ketimpangan 0,4.
"Pemerintah perlu fokus pada peningkatan sektor pertanian dan pembangunan desa. Fokusnya pada peningkatan produktivitas dan daya saing desa dan pertanian, serta peningkatan kapasitas perekonomian," ujarnya.
Enny juga menyoroti belanja pemerintah pusat yang meningkat dari 2011 sebesar Rp1.294 triliun hingga 2014 sebesar Rp1.876 triliun, namun tidak disertai kontribusi dari belanja pemerintah untuk Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB justru menyusut menjadi 8,02 persen dari 9,59 persen. Ini artinya kualitas pertumbuhan belum ada, pemerintah mandul, stimulus ke sektor pertanian hampir tidak ada," jelasnya.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015