Jakarta, (ANTARA News) - Gelombang pertama kloter-kloter jemaah haji Indonesia dari 11 embarkasi yang mulai masuk asrama haji sejak 27 Desember telah semua diberangkatkan ke tanah suci pada Minggu (10/12), dan akan disusul gelombang kedua pada hari berikutnya hingga 25 Desember 2006. Jemaah gelombang pertama yang selama ini menuju Madinah untuk lebih dulu melaksanakan ibadah Arbain itu kini sudah berangsur-angsur menuju Mekkah, kota yang jaraknya sekitar 600km dari Madinah. Sementara jemaah haji gelombang kedua diberangkatkan langsung menuju Mekkah. Di Mekkah mereka menanti berlangsungnya masa-masa puncak haji dengan berbagai ibadah baru kemudian ke Madinah untuk melakukan ibadah Arbain selama delapan hari sebelum pulang ke tanah air. Sebanyak 205 ribu jemaah Indonesia yang sejak musim haji 1427 H menggunakan seragam haji nasional warna hijau telur asin itu akan bergabung bersama sekitar 2-3 juta jemaah dari berbagai negara lainnya di tanah suci. Mereka semua akan melangsungkan prosesi ibadah haji mulai 29 Desember dengan wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan kemudian berkemah selama tiga hari di Mina serta melontar jumroh. Ibadah Fisik Ketika mereka mulai masuk ke Asrama Haji, mungkin jemaah merasa begitu bersemangat dan siap secara spiritual membayangkan bakal memenuhi panggilan Allah SWT untuk menunaikan seluruh prosesi ritual haji. Namun prosesi haji kenyataan memang tidak cuma membutuhkan keikhlasan dan kesiapan spiritual yang digembleng sejak berbulan-bulan sebelum tiba pemberangkatan atau bahkan bertahun-tahun sejak mulai menabung, tetapi juga kesiapan fisik. Ritual ibadah haji seperti telah diketahui, merupakan ritual yang berat yang tidak saja membutuhkan tubuh yang fit dan sehat tetapi juga fisik yang kuat. Jemaah haji di tanah suci akan dituntut untuk berjalan kaki sekaligus berdesak-desakan dengan ribuan orang, misalnya thawaf (mengelilingi Ka`bah tujuh kali) dan sa`i (berjalan dari bukit Safa dan Marwa hingga tujuh kali). Meski kondisi Masidil Haram, Mekkah, saat ini sudah sangat jauh meringankan jemaah haji dengan lantai marmernya dibanding zaman Rasulullah dengan padang pasir tandus yang keras dan membakar, namun demikian tujuh putaran ka`bah yang padat dan berjejalan sangat melelahkan jemaah. Kalau ingin lebih lega dan sejuk, jemaah bisa menggunakan lingkaran luar Ka`bah, namun jaraknya kurang-lebih sepanjang keliling luar lapangan sepak bola yaitu 400 meter yang jika dikalikan tujuh berarti sekitar 3.000 meter. Demikian pula dengan sa`i di mana jarak tempuh setiap kali sepanjang 400 m yang dilakukan hingga tujuh kali atau total 3.000 m. Baik Thawaf maupun Sa`i tidak dilakukan cuma sekali, tetapi bisa berkali-kali selama 40 hari di Mekkah. Belum lagi jika jemaah harus berjalan pulang pergi setiap hari dari Pondokan ke Masjidil Haram yang jaraknya sekitar 1 Km atau lebih, atau ketika jemaah harus berjalan dari kemahnya ke Jamarat (tempat lontar jumroh) pulang pergi selama tiga hari di Mina, yang jaraknya bisa 1-3km. Ditambah lagi keharusan menginap di udara terbuka di Muzdalifah dengan pakaian Ihrom, dan berdesak-desakan melontar jumroh yang semuanya menguras tenaga, atau beribadah arbain dengan melakukan Sholat 40 waktu (delapan hari) di Masjid Nabawi Madinah tanpa putus. Karena itu wajarlah jemaah haji, khususnya yang berisiko tinggi yaitu yang telah berusia lanjut atau memiliki penyakit berat, banyak yang jatuh sakit setelah menjalani prosesi ibadah haji. Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Mekkah selalu kebanjiran ratusan pasien pada masa itu. Data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu menunjukkan kecenderungan yang sama dari tahun ke tahun, di mana jemaah haji wafat meningkat jumlahnya secara signifikan setelah masa puncak haji dengan jumlah jemaah wafat sekitar 400-500 orang per tahun. Kepala BPHI Daker Mekkah 1425 H, dr Joko Trihadi mengatakan, kebanyakan jemaah haji yang meninggal di tanah suci merupakan jemaah dari gelombang pertama, yang mengawali keberangkatannya ke tanah suci dengan tinggal lebih dulu delapan hari di Madinah untuk melakukan ibadah arbain. "Kebanyakan yang meninggal, sekitar 60 persen lebih merupakan jemaah gelombang I, baik pasien yang meninggal di BPHI, di RS Arab Saudi atau di pemondokan, dibanding gelombang II yang baru melaksanakan Arbain setelah menunaikan prosesi puncak haji," katanya saat itu. Menurut Joko, mereka meninggal diduga selain karena tua dan menderita penyakit sejak di tanah air, juga karena kelelahan setelah berhari-hari melakukan sholat lima waktu tanpa putus di Masjid Nabawi, Madinah. "Sehingga begitu datang ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah hajinya justru kondisi fisiknya sedang di puncak kelelahan dan daya tahan tubuh juga sudah anjlok, sementara untuk menunaikan prosesi ibadah haji di Mina juga sangat berat, ujarnya. Saluran Pernafasan Sementara itu, Amirul Haj 1427 H yang juga mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher, penyakit jemaah haji di tanah suci kebanyakan adalah saluran pernafasan dengan gejala umum tenggorokan kering dan batuk, kemungkinan lain bronchitis dan radang paru-paru serta asma. Menurut dokter yang pernah bertugas sebagai Direktur Dinas Kesehatan Angkatan Laut itu, penyakit saluran pernafasan itu terkait dengan perubahan kelembaban udara yang sangat jauh. Yakni dari kondisi Indonesia beriklim tropis dengan angin muson, curah hujan tinggi, udara yang relatif basah dan kelembaban udara sampai 90 persen menuju ke kondisi alam Arab Saudi yang bergurun dengan pasir berterbangan, curah hujan kecil, kelembaban rendah (30-40 persen) dan udaranya kering. Data pasien pada puskesmas-puskesmas di Jeddah pada 1996, pasien dengan jenis penyakit saluran pernafasan mencapai 39 persen, sisanya tersebar misalnya penyakit kulit (tujuh persen), saluran pencernaan (6 persen) dan lain-lain. Sedangkan data penyebab kematian tertinggi para jemaah haji adalah penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 30 persen, selanjutnya paru-paru kronis 20 persen. Kelembaban udara yang rendah dan penguapan yang tinggi itu juga menyebabkan jemaah bisa mengalami dehidrasi hingga kematian jika tidak banyak-banyak minum air, karena itu disarankan jemaah selalu sedia air 100 cc per jam meski tidak haus. Selain kelembaban udara yang rendah, suhu di dataran Arab saat ini juga cukup rendah dengan suhu di Madinah saat ini sekitar 14 derajat Celcius, atau minimal 10 dan maksimal 20 derajat Celcius setiap hari, sementara di Mekkah suhu udara masih 20-30 derajat celcius. Diperkirakan pada puncak haji di Arafah-Mina suhu udara cukup dingin, dapat mencapai 8 derajat Celcius. Hal ini membuat jemaah beresiko tinggi semakin menderita. Musim haji 1427 H ini memang bertepatan dengan musim dingin yang berlangsung sejak 1999 hingga 2014 ketika musim haji berlangsung pada Desember hingga Februari. Karena itu jemaah memang disarankan membawa baju hangat serta baju ihrom yang tebal, khususnya untuk kaum pria yang pada masa puncak haji hanya diperbolehkan menggunakan pakaian ihrom dua lembar, sebab selain karena suhunya rendah, anginnya juga cukup dingin. Namun demikian, Tarmizi Taher menambahkan, medan berhaji yang berat dan menguras tenaga jangan membuat takut jemaah berusia lanjut dan berpenyakit berat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. "Banyak kejadian mereka yang sakit dan ringkih di tanah air, di tanah suci justru menjadi sehat dan segar bugar. Di tanah suci banyak hal-hal tak terduga," katanya.(*)
Pewarta: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2006