Jakarta (ANTARA News) - Kegiatan berhaji bagi umat muslim Indonesia, ternyata bukanlah barang baru lagi karena ternyata sejak masa sebelum penjajahan kolonialisme Belanda, mereka sudah berangkat ke Mekkah dengan memakan waktu berbulan-bulan karena menggunakan kapal laut. Mereka rela menjalani perjalanan panjang demikian, guna menjalankan rukun Islam kelima, yakni, berhaji bahkan tidak jarang jamaah haji itu yang saat berangkat dalam keadaan sehat namun sebelum sampai di tanah Mekkah, jamaah itu meninggal dunia karena akibat lamanya perjalanan dengan menggunakan kapal laut serta dipengaruhi pula faktor keamanan selama perjalanan. Sedangkan untuk mengetahui sejak kapankah bangsa Indonesia berangkat berhaji, tentunya kita dapat melihat catatan sejarah seperti yang dituangkan dalam tulisan, Rofiqul Umam Ahmad, alumni Program Pascasarjana (S-2) Universitas Indonesia Bidang Studi Ilmu Hukum, pada situs www.mui.or.id, yang menyebutkan orang Indonesia yang berangkat berhaji itu sudah berlangsung sejak sekitar abad ke-15, yakni, mubaligh terkenal dari Sumatera Selatan, Menak Kemala Bumi. Selain itu, seorang pengembara Italia, Verthema, juga mencatat ketika dirinya singgah di Mekkah pada 1504, dirinya melihat banyaknya jamaah haji dari anak benua India dan kepulauan nusantara. Catatan sejarah demikian, menunjukkan masyarakat Indonesia dalam memandang berhaji bukanlah hal yang aneh asalkan mereka mampu baik fisik maupun uang. Pentingnya fisik itu, terkait dengan perjalanannya yang panjang dan lama dengan membelah samudera untuk mencapai Mekkah. Selanjutnya, sejarawan Belanda, Martin van Bruinessen, menyebutkan, pada 1630-an, Raja Banten dan Raja Mataram sudah saling bersaing mengirim utusan ke Mekah, rombongan dari Banten sendiri pulang ke tanah air pada 1638 sedangkan rombongan dari Mataram pada 1641. Dirinya mencatat pula, di antara seluruh jamaah haji, orang nusantara (Indonesia) selama satu setengah abad terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Seperti, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlahnya berkisar antara 10-20 persen dari seluruh haji asing. Kemudian pada 1920-an, dari seluruh jamaah haji sekitar 40 persennya berasal dari Indonesia meski Indonesia cukup jauh dari Mekkah. Selanjutnya, Martin menarik kesimpulan bahwa orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Mekkah cukup banyak bahkan dari seluruh bangsa yang berada di Mekkah maka orang dari asia tenggara masuk dalam kelompok terbesar, sejak 1860 bahasa melayu menjadi bahasa kedua di Mekkah setelah bahasa Arab. Hanya sayangnya sejarawan tersebut, tidak memiliki data statistik mengenai jamaah haji Indonesia pada abad-abad sebelumnya. Data jamaah Indonesia di Mekkah itu, menunjukkan adanya fenomena penting perihal perilaku naik haji, karena perjalanan haji saat itu tidak semudah seperti saat ini, karena ancaman pembunuhan, terserang penyakit, dan tenggelam terus menghantui mereka. Koloni Jawa Tidak sedikit di antara mereka yang memilih tinggal sementara di Mekkah dalam bentuk komunitas yang dikenal dengan nama `Koloni Jawa` atau `Jawa Mukim`. Uniknya, ia menyebutkan jika keberangkatan raja Banten dan raja Mataram pada 1630 itu, terkait dengan faktor saling bersaing untuk mendapatkan pengakuan dari Mekkah serta mendapatkan gelar Sultan. Martin van Bruinessen, mengatakan, pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar `Sultan`. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar Al-Islam. Bahkan dirinya menyebutkan banyak orang nusantara yang berangkat haji saat itu, adalah yang wajar terkait dengan kosmologi Jawa yang mengenal pusat-pusat kosmis, terlebih lagi setelah orang Indonesia banyak yang menganut Islam. Hingga pusat kosmisnya beralih dari semula di makam para leluhur, gunung, gua dan hutan yang selanjutnya digantikan dengan Mekkah. Agaknya, karena itu umat muslim di tanah air sejak dahulu sampai sekarang terus berbondong-bondong ke Mekkah untuk menjalankan rukun Islam yang kelima.(*)
Pewarta: Oleh Riza Fahriza
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006