"Setoran BPIH merupakan salah satu indikator kesiapan dan komitmen calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji yang dibayarkannya pada saat calon jemaah haji mendaftar," kata Abdul dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Abdul menjelaskan bahwa setoran awal BPIH juga membantu mengatur dan merencanakan tata kelola keuangan ibadah haji.
"Jika setiap warga negara yang beragama Islam berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji tanpa adanya setoran awal BPIH, maka dapat menimbulkan kekacauan, kegaduhan, bahkan ketidakpastian hukum," kata Abdul.
Lebih lanjut Abdul menjelaskan bahwa penyelengaraan ibadah haji memerlukan perencanaan, pengelolaan dan transparansi, serta akuntabilitas, dan profesionalitas dalam pengelolaan tata keuangannya.
Sidang tersebut sesuai permintaan para pemohon yang memohonkan uji materi Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan sejumlah pasal dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Para pemohon ada sejumlah calon jemaah haji yang mempersoalkan masalah setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat calon jemaah mendaftar haji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pemohon menilai pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan, seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015