Bangkok (ANTARA News) - Pemimpin junta Thailand, Kamis, mengatakan bersedia memberi kesaksian mengenai keterlibatannya dalam operasi militer untuk membubarkan unjuk rasa anti-pemerintah pada 2010 di Bangkok yang menyebabkan 90 orang tewas.
Prayut Chan O-cha, mantan panglima militer yang merebut kekuasaan pada Mei lalu, seringkali disebut-sebut sebagai arsitek operasi untuk mengakhiri unjuk rasa jalanan yang telah berlangsung berbulan-bulan oleh kelompok "Baju Merah" pendukung setia perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra.
Peristiwa tersebut menjadi babak paling berdarah dalam sejarah kemelut di Thailand.
Sebelumnya pada pekan ini badan anti-korupsi Thailand merekomendasikan penyelidikan terhadap dua pemimpin sipil yang berkuasa saat itu -mantan perdana menteri Abhisit Vejjajiva dan wakilnya Suthep Thaugsuban- atas penyalagunaan wewenang karena memerintahkan operasi pembubaran tersebut.
Kepada wartawan, Kamis, Perdana Menteri Prayut mengatakan ia bersedia memberikan bukti kepada badan yang menyelidiki Abhisit dan Suthep.
Namun ia menyingkirkan kemungkinan untuk muncul dalam dengar pendapat NACC.
"Saya siap untuk memberikan informasi, meski pun beberapa informasi bisa diberikan dalam bentuk dokumen tanpa saya harus hadir," kata Prayut, seperti dilaporkan AFP.
"Tolong jangan besar-besarkan masalah ini," imbuh dia.
Menanggapi pertanyaan mengenai apakah penyelidikan terhadap Abhisit dan Suthep, keduanya merupakan pendukung setia militer Thailand, bisa menimbulkan masalah bagi militer, pemimpin junta itu menjawab dengan keras: "Masalah apa?"
Prayut selalu membantah melakukan tindakan salah dalam insiden pada 2010 itu, dan mengatakan bahwa tentara terpaksa berhadapan dengan pengunjuk rasa yang bersenjata, banyak di antaranya mengenakan baju hitam, setelah unjuk rasa selama berbulan-bulan yang melumpuhkan kota Bangkok.
Namun bagi Perdana Menteri yang juga mantan perwira tinggi militer itu, kemunculannya dalam sidang sepertinya akan menimbulkan pertanyaan aneh terkait peran militer dalam episode berdarah itu, yang juga menyebabkan sebagian kawasan komersial Bangkok dilalap api.
Meski beberapa di antara pengunjuk rasa "Baju Merah" membawa senjata, pihak oposisi, akademisi dan penyelidik hak asasi manusia mengatakan sejumlah pengunjuk rasa serta warga tak bersenjata tumbang oleh peluru tentara, termasuk petugas medis dan dua wartawan asing.
Komisi Anti-Korupsi Nasional pekan ini menyimpulkan bahwa warga tak bersalah termasuk di antara mereka yang tewas.
Para penggerak kampanye menuding tentara melepaskan tembakan dari jalur kereta yang melintas di atas kota Bangkok.
Tidak ada pejabat militer maupun tentara yang didakwa atau dihukum terkait insiden itu.
Pihak militer Thailand telah melakukan 19 upaya kudeta, termasuk yang berhasil, sejak 1932.
Negara kerajaan itu dilanda krisis politik selama satu dasawarsa yang menghadapkan kelas menengah Bangkok dan elit kerajaan, didukung oleh sebagian militer, dengan kelas pekerja dan warga pedalaman yang setia pada Thaksin dan saudara perempuannya Yingluck, yang digulingkan oleh Prayut pada Mei.
(Uu.S022)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015