Hubungan antara perpustakaan, arsip dan museum, kerap kali dipisahkan, padahal ketiganya memungkinkan untuk bekerja sama dan berkolaborasi.
Pemisahan cara pandang biasanya diawali dengan kacamata bahwa kegiatan di museum hanya mengelola artefak, sedangkan kegiatan perpustakaan erat dengan tata kelola buku (kini dalam arti luas), lalu arsip lekat dengan pengelolaan terhadap rekaman grafis.
Sesungguhnya bila ditinjau dari ilmu dokumentasi, hubungan antara museum, arsip dan perpustakaan bisa dikatakan masih "bersaudara". Disebut bersaudara karena ketiganya erat dengan kegiatan dokumentasi dalam arti luas, yakni mengumpulkan, mengadakan, mencatat, menyimpan, merawat, mengolah koleksi dan menyajikan atau mengomunikasikannya untuk publik.
Bentuk persaudaraan antara arsip, perpustakaan dan museum makin erat tatkala manusia dimanja dengan hardirnya teknologi yang memudahkan ketiganya bertukar data. Ini mungkin mirip dengan pendapat yang disampaikan C. Musiana Yudhawasthi, pendiri dan pegiat Komunitas Jelajah.
Musiana dalam makalah berjudul "Membangkitkan Jiwa Dokumentalis bagi Pengelola Museum" menulis keterikatan ketiganya yang difasilitasi hadirnya teknologi.
"Sebuah koleksi dapat dibedah melalui berbagai bentuk media. Sebuah koleksi lontar mungkin menjelaskan sebuah candi dan beberapa buku, kumpulan foto dan film dari beberapa periode dan wilayah telah dihasilkan manusia sebagai riset dari koleksi tersebut. Kemudian bekerja sama dengan tim desain kreatif hasilnya dapat dipamerkan dalam pameran temporer atau diunggah di situs. Tentunya interpretasi koleksi menjadi semakin kuat dan menarik," kata Musiana.
Sesungguhnya perpustakaan, arsip dan museum mampu bekerja sama dan berkolaborasi setidaknya dalam enam aspek, sebagaimana hasil penelitian berjudul "From coexistence to covergence: studying partnerships and collaboration among libraries, archives and museums" dari Information Research vol .18 No3, September 2013.
Penelitian yang dilakukan di Kanada dan New Zeland itu menunjukkan enam aspek yang mempertautkan perpustakaan, arsip dan museum, yakni: 1) untuk melayani pengguna secara lebih baik; 2) untuk mendukung kegiatan ilmiah; 3) mengambil manfaat dari perkembangan teknologi; 4) efisiensi anggaran dan administrasi; 5) adaptasi terhadap objek digital; 6) pandangan secara komprehensif terhadap koleksi.
Penelitian di atas hanya terpaku pada kerja sama tiga institusi, namun sejatinya kolaborasi bisa diperluas lagi bukan hanya perpustakaan, arsip dan museum, namun juga meningkat pada monumen dan situs. Bahkan International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) menempatkan kelimanya dalam posisi setara yang dikenal dengan istilah: Libraries, Archives, Museums, Monuments and Sites (LAMMS) seperti tertera pada link http://www.ifla.org/lamms
Memory of the World
Apa sasaran kolaborasi tersebut? sesungguhnya perpustakaan, arsip, museum, monumen dan situs adalah sarana pengabadian memori kolektif bangsa. Lantas mengapa memori kolektif atau ingatan bersama ini begitu penting?
Setidaknya memori kolektif berguna untuk untuk mewariskan kehidupan, berguna untuk menemukan dan menentukan identitas masyarakat, etnik dan bangsa. Bahkan, menurut Wanny Rahardjo, dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, memori kolektif sangat berguna untuk mempertahankan keutuhan masyarakat dan acuan bersama seluruh warga serta sebagai simbol suatu peradaban.
Memori kolektif tersebut dalam kancah global dikenal dengan istilah "Memory of the World" (MOW) yang dibentuk oleh UNESCO pada tahu 1992. Tujuan dibentuknya MOW adalah untuk melestarikan dan menyediakan akses ke warisan dokumenter bangsa yang dianggap signifikan sebagai perwujudan dari ingatan nilai peradaban manusia.
Dokumen tersebut berada di perpustakaan, arsip, galeri maupun museum sebuah negara, baik yang berada di pusat maupun daerah, milik pemerintah maupun perseorangan.
Indonesia juga mendukung MOW yang digagas UNESCO tersebut. Melalui SK Ketua LIPI No: 1422/A/2006, tanggal 2 Nopember 2006 dibentuklah MOW Indonesia yang bertugas untuk memayungi berbagai instansi yang terkait dengan pelaksanaan program MOW serta mengoordinasi dan mengajukan nominasi dari tingkat nasional ke unit register MOW di tingkat internasional.
Anggota Komite Nasional MOW Indonesia adalah Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional RI, Yayasan Manuskrip Nusantara, Asosiasi Tradisi Lisan dan para pakar.
Lebih jauh Menkominfo telah mendeklarasikan Ingatan Kolektif Nasional (IKON) atau Memory of the Nation (MON) pada 23 Mei 2012 saat acara Pekan Informasi Nasional di Manado.
Hingga saat ini sejumlah naskah telah teregister di UNESCO. Menurut Sri Hartinah, Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) salah satunya adalah Negara Kertagama (1350-1365) yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit, yang diakui sebagai MOW secara internasional oleh UNESCO tahun 2013.
Kemudian yang telah teregister adalah "I La Galigo" yang telah diusulkan tahun 2008 dan baru diakui sebagai MOW Register 2011. "I La Galigo" adalah epik terpanjang dunia, bahkan lebih panjang dari epik Mahabharata.
Berupa puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. I La Galigo bukan merupakan teks sejarah karena penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa yang memberi gambaran kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Selain itu, menurut Sri Hartinah, masih ada yang sudah teregister, yakni Babad Diponegoro (MOW 2013) dan beberapa sedang dalam proses diusulkan untuk diregister, seperti misalnya Konferensi Asia Afrika, Dokumentasi Mak Yong dan Gurindam Dua Belas.
Mungkin banyak orang yang kurang menaruh perhatian terhadap memori kolektif tersebut. Setidaknya telah berlangsung sebuah acara yang digagas sebagai pengingat bahwa ada keterikatan antara lembaga dokumentasi tersebut. Sebuah acara pertengahan Februari lalu yang digagas oleh Komunitas Kappa Sigma Kappa Indonesia dengan Komunitas Jelajah yang didukung oleh PDII LIPI.
Acara tersebut diberi tajuk Bincang Senang Kepustakawanan 2, Mengenang Luwarsih Pringgoadisuryo, dokumentalis peraih bintang Mahaputra Nararya.
Almarhum Luwarsih Pringgoadisuryo adalah kepala PDII-LIPI tahun 1973 sampai 1990. Acara diskusi tersebut selain mengingatkan audiens tentang keterikatan memori kolektif juga membahas peran Luwarsih selama memimpin lembaga ilmiah tersebut.
Ternyata Luwarsih juga memiliki prestasi yang cemerlang di bidang sastra lewat beberapa novel yang ditulisnya. Tercatat novel Menyongsong Badai (1930), Tati Takkan Putus Asa (1957), Lain Sekarang Lain Esok (1973) dan Yang Muda Yang Menentukan (1989).
Laman perpustakaan Ohio University, Amerika Serikat, bahkan menyebutkan bahwa novel yang ditulis Luwarsih menampilkan cerita didaktik optimistik tentang persoalan wanita, semua novelnya mengusung tema harapan dan kemandirian kaum wanita.
Acara mengenang Luwarsih setidaknya bisa menjadi pemantik kesadaran masyarakat tentang pentingnya kolaborasi dari sisi dispilin ilmu dokumentasi agar bangsa Indonesia mantap melesat ke masa depan, namun tetap berpijak pada kearifan masa silam.
*) Penulis adalah Manajer Pusat Data & Riset Perum LKBN Antara
Oleh Dyah Sulistyorini*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015