Jakarta (ANTARA News) - Dinyatakannya bahwa Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UUKKR) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, bukan berarti Makamah Konstitusi (MK) menutup upaya rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus-kasus HAM berat.
"Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal," kata Ketua MK Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Kamis.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU no 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu UU tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan.
"Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum," ujarnya saat membacakan putusan atas uji materi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).
Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan MK tersebut tertuang dalam putusan atas permohonan uji materi UU KKR yang diajukan oleh Asmara Nababan dkk yang diregistrasi dengan nomor 006/PUU-IV/2006.
Pemohon mengajukan uji materi atas pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9 UU KKR. Pasal-pasal itu bunyinya, pasal 27 UU KKR "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan".
Pasal 1 angka 9 UU KKR berbunyi Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Pasal 44 UU KKR berbunyi "Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM".
Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD.
Pasal 27 UU KKR oleh pemohon dinilai bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, pasal 28 I ayat (2) dan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
Pembacaan putusan yang diikuti oleh sembilan hakim MK itu dihadiri oleh para pemohon antara lain Asmara Nababan, dan kuasa hukum pemohon antara lain Taufik Basari.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006