"Orang di Sumbar lebih suka berindustri dan berdagang sendiri yaitu industri rumahan seperti keripik, rendang, tenun, bordir, songket. Dengan budayanya yang egaliter, orang Minang lebih suka menjadi pemimpin, pengelola, sekaligus pekerja di bisnisnya sendiri," kata Gubernur Sumbar dalam rapat koordinasi Kementerian Perindustrian, di Padang, Selasa.
Lebih lanjut ia menjelaskan, "Daripada digaji Rp1,4 juta yaitu UMR Kota Padang dan hidup diatur dari jam 9 pagi sampai 5 sore, orang Minang lebih suka kerja berdagang, membuat produk industri rumahan, atau pekerja dengan skema bagi hasil--bukan upah atau gaji."
"Saya sudah lihat, semua pabrik padat karya di Sumbar tutup. Sumatex tutup, pabrik triplek kayu, pabrik biskuit juga tutup karena tidak produktif," kata dia.
Ia melanjutkan, "Industri rokok juga tidak mungkin bisa sukses di sini. Saya pernah ke pabrik rokok di Jawa Timur (Jatim) dan melihat ribuan pekerja masing-masing melinting ribuan rokok. Orang Sumbar mungkin sehari hanya bisa melinting 100, karena sambil melinting banyak mengobrol, tidak produktif."
Gubernur Sumbar menjelaskan bahwa dengan melihat pengalaman industri di wilayahnya, ia yakin bahwa strategi dan kebijakan yang mengupayakan kemandirian ekonomi harus memperhatikan aspek-aspek budaya dan kebiasaan setempat.
"Etnik Minang itu modalnya bukan otot, tapi otak. Dengan populasi hanya 5 juta atau 2 persen dari nasional, tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Sumbar adalah 15 persen. Mereka banyak sukses menjadi diplomat, pedagang, pengusaha, dan politisi," ujarnya.
Ini sebabnya untuk Sumbar, Gubernur menegaskan bahwa industri yang akan sukses adalah industri kreatif dan industri teknologi informasi komunikasi (TIK), selain industri rumahan.
Untuk merealisasikan upaya pengembangan sektor industri kreatif dan TIK, Pemerintah Provinsi Sumbar membuat kota industri baru di Padang Pariaman. Dalam hal ini, Gubernur meminta dukungan dari Pemerintah Pusat lewat Kementerian Perindustrian.
Pewarta: Ella Syafputri
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015