Kabupaten Pesisir Barat berdiri pertengahan 2013 dan berpisah dari kabupaten induknya, Lampung Barat.di Provinsi Lampung.
Blue marlin atau disebut ikan tuhu/tuhuk menjadi ikon kabupaten yang hingga tiga tahun ini dipimpin Bupati Kherlani.
Bahkan, untuk mempermudah menjelaskan kepada anak-anak, ada warga yang menyebutnya "Ikan Indosiar", mungkin karena ikan itu bisa terbang dan menjadi salah satu logo stasiun televisi swasta nasional.
"Kalau pergi ke Pesisir Barat belum makan sate atau gulai (sayur) ikan blue marlin, itu namanya belum ke Pesisir Barat. Dan kalau ingin menyantap sate ikan blue marlin, ya pergilah ke Pesisir Barat," kata Kherlani.
Ikan tuhuk, menurut nelayan setempat, Haryadi (45), selalu ada setiap hari hasil tangkapan nelayan di pantai barat Pesisir Barat.
Kabupaten itu berjarak sekitar 350 KM arah barat laut, atau perjalanan sekitar lima hingga enam jam dari Kota Bandarlampung, Ibu Kota Provinsi Lampung.
Ikan tuhuk hidup di perairan laut lepas, area tangkapannya relatif agak jauh dari pantai, maka alat yang digunakan juga harus memadai.
"Ikan tuhuk itu apalagi yang besar ganas, bisa terbang. Jadi kalau tidak hati-hati bisa menerjang badan kita dan sangat bahaya, karena moncong mulutnya menyerupai tombak panjang dan tajam," kata seorang nelayan, Haryadi.
Meski menangkapnya tidak mudah, menu ikan tuhu relatif tidaklah mahal dan bisa didapatkan serta dinikmati dengan mudah di beberapa warung makan di Pesisir Barat.
Di sebuah rumah makan sederhana di dekat pintu masuk Bandara Pekon Serai, Krui, Pesisir Barat, misalnya, pengunjung kadang bisa melihat langsung ikan tuhuk itu sedang dikuliti, diiris-iris dagingnya yang segar dan memerah, lalu selanjutnya dimasak sesuai pesanan pembeli, seperti digulai (sayur santan), digoreng, atau disate.
Harga satu tusuk sate ikan tuhuk juga tidak mahal, hanya sekitar Rp1.500 sampai Rp2.000 isi lima iris, atau Rp15.000 hingga Rp20.000/10 tusuk, tergantung besar dan banyak isi dagingnya.
Setelah disate, pembeli bisa memesan lagi sesuai selera, apakah akan menggunakan bumbu kacang atau kecap, pedas atau sedang, dan selanjunya akan dibungkus untuk dibawa pulang untuk keluarga, untuk oleh-oleh atau tidak.
Tentu, harga daging ikan tuhuk itu jauh lebih mahal ketika sudah sampai di Pusat Kota Bandarlampung.
Ikan tuhuk hidup di perairan laut lepas, area tangkapannya relatif agak jauh dari pantai, maka alat yang digunakan juga harus memadai.
"Ikan tuhuk itu apalagi yang besar ganas, bisa terbang. Jadi kalau tidak hati-hati bisa menerjang badan kita dan sangat bahaya, karena moncong mulutnya menyerupai tombak panjang dan tajam," kata seorang nelayan, Haryadi.
Meski menangkapnya tidak mudah, menu ikan tuhu relatif tidaklah mahal dan bisa didapatkan serta dinikmati dengan mudah di beberapa warung makan di Pesisir Barat.
Di sebuah rumah makan sederhana di dekat pintu masuk Bandara Pekon Serai, Krui, Pesisir Barat, misalnya, pengunjung kadang bisa melihat langsung ikan tuhuk itu sedang dikuliti, diiris-iris dagingnya yang segar dan memerah, lalu selanjutnya dimasak sesuai pesanan pembeli, seperti digulai (sayur santan), digoreng, atau disate.
Harga satu tusuk sate ikan tuhuk juga tidak mahal, hanya sekitar Rp1.500 sampai Rp2.000 isi lima iris, atau Rp15.000 hingga Rp20.000/10 tusuk, tergantung besar dan banyak isi dagingnya.
Setelah disate, pembeli bisa memesan lagi sesuai selera, apakah akan menggunakan bumbu kacang atau kecap, pedas atau sedang, dan selanjunya akan dibungkus untuk dibawa pulang untuk keluarga, untuk oleh-oleh atau tidak.
Tentu, harga daging ikan tuhuk itu jauh lebih mahal ketika sudah sampai di Pusat Kota Bandarlampung.
Selain kuliner ikan tuhuk, Pesisir Barat memiliki sejumlah objek wisata budaya misalnya Pantai Tanjung Setia, yang amat digandrungi para wisatawan asing petualangan, karena memiliki ombak pantai yang tinggi dan panjang, sangat cocok untuk olahraga dan wisata selancar.
Pada bulan-bulan tertentu, banyak turis asing, baik dari Amerika, Australia, Belanda, dan lainnya yang berada di sana bukan hanya untuk satu atau dua tiga malam, tapi sekali datang bisa bertahan satu hingga dua bulan.
"Kalau lagi musim ombak, turis asing yang ke sini bukan hanya bermalam sehari dua hari, tapi bisa satu bahkan ada yang dua bulan," kata warga setempat, Rinaldi (50).
Para turis asing itu selain bermalam di tempat-tempat penginapan yang telah tersedia di tepi pantai sedemikian rupa, dan bisa mendengarkan deburan ombak selama 24 jam, juga banyak yang tinggal di rumah-rumah penduduk.
Pada bulan-bulan tertentu, banyak turis asing, baik dari Amerika, Australia, Belanda, dan lainnya yang berada di sana bukan hanya untuk satu atau dua tiga malam, tapi sekali datang bisa bertahan satu hingga dua bulan.
"Kalau lagi musim ombak, turis asing yang ke sini bukan hanya bermalam sehari dua hari, tapi bisa satu bahkan ada yang dua bulan," kata warga setempat, Rinaldi (50).
Para turis asing itu selain bermalam di tempat-tempat penginapan yang telah tersedia di tepi pantai sedemikian rupa, dan bisa mendengarkan deburan ombak selama 24 jam, juga banyak yang tinggal di rumah-rumah penduduk.
Oleh M. Tohamaksum
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015