Doha (ANTARA News) - Qatar adalah negara Arab yang tak terlalu menerapkan hukum Islan secara ketat, berbeda dengan tetangganya Saudi Arabia. Adalah hal yang biasa bila menjumpai warga setempat lalu lalang di jalan dengan celana jins dan kaos baju kaos ketat dengan rambut tergerai. Juga bukan pemandangan yang luar biasa melihat kaum wanita menyetir mobil sendirian, suatu hal yang tidak mungkin ditemukan di Saudi Arabia. Pertandingan voli pantai dengan atlet putri yang menggunakan bikini, juga bukan pemandangan aneh di Qatar, negeri kaya minyak dan gas bumi yang hanya berpenduduk sekitar 800.000 jiwa itu. Banyak penonton yang lalu lalang di sekitar stadion, baik dengan pakaian cadar khas Arab dan berbaur dengan penonton lain yang berpakaian lebih terbuka. Nasser Al Mawlawi, direktur arena pertandingan voli pantai mengakui bahwa masyarakatnya sangat terbuka untuk hal-hal seperti itu, tidak ada bedanya dengan negara-negara lainnya yang tidak menerapkan syariah Islam. "Kami cukup terbuka untuk hal-hal seperti ini, olahraga renang maupun voli pantai tidak ada masalah bagi kami," kata Nasser Al Mawlawi seperti dikutip harian Peninsula, Rabu. Menurut Nasser, warga Qatar sudah bisa memahami bahwa olahraga voli pantai, terutama di kelompok putri, peraturan memang mengharuskan atlet mengenakan seragam ketat berbentuk bikini yang sulit diterima di negara Islam. "Masyarakat sadar bahwa voli pantai adalah sebuah olahraga yang memiliki aturan kostum. Mereka sudah sering melihat olahraga itu di televisi," katanya. Namun warga Qatar mungkin baru sebatas memahami kondisi voli pantai dan belum bersedia terlibat langsung seperti mengikuti pertandingan voli pantai putri. Buktinya, negara tersebut tidak mengikut sertakan atlet mereka. Qatar, seperti hampir seluruh 16 negara Islam lainnya, memutuskan untuk tidak mengikuti voli pantai putri. Hanya Irak yang mengirimkan atlet putri, mereka yaitu kakak beradik Lisa dan Lida Agasi. Meski kedua pasangan Irak tersebut beragama Nasrani, mereka tetap tampil dengan kostum yang tidak sepenuhnya terbuka. Untuk menyiasati kendala budaya, wakil presiden Federasi Bola Voli Internasional (FIVB) Rita Subowo asal Indonesia mengatakan bahwa pihaknya telah membuat berbagai perubahan untuk mengakomadasi kendala yang terjadi. Salah satu caranya adalah dengan membolehkan atlet putri bertanding dengan menggunakan celana dan baju kaos panjang, serta penutup kepala, sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Di beberapa negara Islam, perubahan peraturan tersebut sudah disosialisasikan sejak beberapa tahun lalu. "Kami telah berusaha keras untuk mempromosikan olahraga voli pantai dengan berbagai kostum, tapi kami mungkin harus berusaha lebih keras lagi di Asia dan negara-negara Muslim. Kami sudah lakukan itu di Indonesia yang 90 penduduknya beragama Islam," kata Rita yang juga mantan Ketua Umum PB PBVSI itu. "Saya kira ini adalah untuk pertama kalinya Qatar bersedia menggelar pertandingan voli pantai untuk putri," katanya menambahkan. Kostum sebenarnya bukan masalah utama mengapa atlet voli pantai putri, terutama dari negara Islam, tidak bertanding di Asian Games karena masalah utama sebenarnya adalah budaya yang tidak mendukung perkembangan olahraga itu. Menurut pengakuan atlet Yaqoob Al Maqbali dari Oman, ia sebenarnya menyayangkan banyaknya atlet putri dari negara Arab yang tidak bisa bertanding. Inilah masalah yang dihadapi negara Arab. Oman misalnya, sebenarnya mempunyai tim cukup kuat, tapi mereka tidak bisa bertanding di sini, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006