Sekretaris Jenderal Amnesty International Salil Shetty dalam keterangan persnya, Kamis, menyatakan Amnesty International menentang hukuman mati untuk semua kejahatan tanpa kecuali, sebagai suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup dan merupakan penghukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Dengan melanjutkan eksekusi, Indonesia akan melanggar hukum dan standar HAM internasional. Setidaknya dua dari mereka yang telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, dan standar internasional menetapkan bahwa tidak boleh ada eksekusi sebelum PK tersebut diputuskan.
Amnesty International khawatir beberapa individu yang menghadapi eksekusi tidak memiliki bantuan hukum yang memungkinkan mereka untuk mengajukan upaya hukum PK.
Satu terpidana mati, Warga Negara Brasil Rodrigo Gularte, didiagnosa memiliki masalah skizofrenia paranoid (paranoid schizophrenia) dan gangguan bipolar (bipolar disorder) dengan karakteristik psikotik, gangguan kesehatan yang terjadi semakin memburuk saat ia menghadapi eksekusi mati.
Hukum internasional melarang penggunaan hukuman mati terhadap mereka yang memiliki gangguan mental atau pikiran.
"Kami menyambut laporan terbaru bahwa pemerintah Indonesia akan meninjau ulang kasus Gularte dan bahwa ia mungkin tidak akan dieksekusi jika ia diketahui memiliki gangguan mental," katanya.
Amnesty International juga khawatir tentang niatan pemerintah Indonesia menolak permohonan grasi apa pun yang diajukan terpidana mati untuk kasus terkait penyalahgunaan narkotika.
"Ini meremehkan hak individu untuk memohon pengampunan atau pengurangan hukuman, yang jelas tercantum pada Pasal 14 Konstitusi Indonesia dan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia merupakan negara anggota," katanya.
Pelaksanaan eksekusi mati ditampilkan sebagai respons terhadap kejahatan, termasuk kejahatan narkotika. Namun, kejahatan narkotika tidak memenuhi syarat sebagai "kejahatan paling serius" yang bisa diterapkan dengan hukuman mati menurut ICCPR.
Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkan hukuman mati mencegah kejahatan lebih efektif dibanding dengan penggunaan hukuman-hukuman yang lainnya.
Sebuah studi komprehensif yang dilakukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hubungan hukuman mati dan tingkat kejahatan pembunuhan menyimpulkan bahwa penelitian tersebut gagal menunjukkan suatu bukti ilmiah hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar ketimbang hukuman penjara seumur hidup.
Sebagaimana PBB dan badan-badan lainnya menyatakan, memerangi kejahatan serius dan ketidakamanan memerlukan investasi dalam penegakan hukum yang efektif dan sistem peradilan pidana.
Masyarakat harus memiliki keyakinan bahwa para pejabat penegak hukum terlatih dan diperlengkapi untuk menyelidiki tindak pidana, tanpa melanggar hak asasi manusia, dan bahwa sistem peradilan adalah independen, adil, dan objektif.
Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan rencana mengeksekusi 11 orang, dan mengevaluasi semua kasus dengan pandangan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman pemenjaraan, selain menetapkan moratorium eksekusi dengan pandangan untuk menghapuskan hukuman mati sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB.
Selain itu juga merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan semua pasal-pasal yang relevan dalam perundang-undangan di Indonesia yang memiliki ketentuan hukuman mati untuk menghapus semua ketentuan tersebut.
(T.H-ZG/S024)
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015