Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa, oleh majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Empat dari sembilan hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut. Lima hakim konstitusi dalam putusan menyatakan permohonan para pemohon, yaitu praktisi hukum Eggi Sudjana dan aktivis Pandopotan Lubis, dikabulkan untuk seluruhnya. Empat hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya, dan Achmad Roestandi, menolak permohonan para pemohon karena dianggap tidak cukup alasan untuk menyatakan ketiga pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. "Setelah palu diketuk, maka putusan MK ini mulai berlaku final dan mengikat. Yang berlaku final yang mengikat adalah putusan yang kelima hakim (yang mengabulkan permohonan-red), bukan yang empat," kata Jimly usai menutup persidangan. MK dalam putusannya menyatakan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden. "Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi," kata Jimly saat membacakan putusan. MK juga menilai ketiga pasal itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap, apabila ketiga pasal itu selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan, sehingga dinilai bertentangan dengan pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Untuk selanjutnya, MK memutuskan delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden diberlakukan pasal 310 sampai 312 KUHP apabila penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi, dan pasal 207 KUHP apabila penghinaan ditujukan selaku pejabat. Keberadaan pasal 134, 136 bis dan 137, menurut MK, juga dapat menjadi ganjalan untuk melakukan klarifikasi apakah presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran seperti yang tercantum dalam pasal 7A UUD 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, serta tindak pidana berat lainnya. Dengan berlakunya ketiga pasal itu, MK menyatakan upaya-upaya melakukan klarifikasi bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap presiden. MK berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945,B sudah tidak relevan lagi untuk memuat pasal 134, 136 bis dan 137 dalam KUHPnya yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum. Pemberlakuan ketiga pasal itu, menurut MK, juga berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum. "Sehingga, dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaruan KUHP warisan kolonial, juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137," kata Jimly. Ancaman pidana maksimal enam tahun penjara yang diatur dalam pasal 134, menurut MK, dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006